Rahasia Doraemon

Menurut penelitian para ahhli bahasa, dapat diambil suatu kesimpulan yang sangat penting bahwa DORAEMON ternyata kucing asli dari Jawa, nama aslinya DORAEMAN yang artinya tidak ada yang terlalu disayang untuk diberikan. Terbukti bahwa apapun yang dipunyainya yang tersimpan di dalam kantong ajaib di perutnya selalu diberikan kepada Nobita meski dia tahu Nobita adalah anak yang ceroboh dan usil, tidak ada yang di eman. Baru pada tahu ya? Sudah ngaku saja jangan malu-malu. Hiks.

Syahdan singkat kata lalu dia pergi ke negri jepang untuk memulai petualangannya dengan si Nobita, Suneo, Giant, Shizuka dan yang lainnya.

Doraemon sebenarnya tidak tercipta sendirian, namun dia punya banyak saudara-saudara yang namanya sesuai dengan  karakternya. Namun agar demi menjaga bahwa Doraemon harus terdeskripsi sebagai kucing Jepang, maka nama saudara-saudaranya tidak pernah dipublikasikan.

Namun untuk anda pembaca blog ini, saya bocorkan beberapa nama dari saudara-saudara Doraemon yang masih tersisa di Jawa. Mereka adalah :

* Yang bodo namanya DORAMUDENG.
* Yang minggatan/kabur namanya DORABALI.
* Yang suka keluyuran namanya DORAMULIH.
 * Yang suka begadang namanya DORATURU.
* Yang suka ngawur namanya DORANGGENAH.
* Yang pikun namanya DORAELING.
 * Yang gatel-gatel namanya DORAADUS.
* Yang suka omong namanya DORAMENENG.
 * Yang suka berantem namanya DORAAKUR.
* Yang kelaparan namanya DORAMANGAN.
* Yang susah dibilangi karena meski sering salah namanya DORAKAPOK.
* Yang selalu merasa kenyang namanya  DORALUWE.
* Yang baca ini sambil senyum-senyum sendiri namanya DORAWARAS.

* Kalo yang nggak pada ketawa namanya DORAPAHAM.

Clegukkk.....

Readmore → Rahasia Doraemon

Berqurban Ayam

Sewaktu masih SMP dahulu kala, ada seorang teman ngaji yang mempunyai pertanyaan khas ketika dia dinasehati atau diberitahu tentang sesuatu. Ketika dibilangi, dia pasti akan menanyakan, "Yang sampaean sampaikan ini ada tuntunannya apa tidak?"

Dia berpandangan bahwa sesuatu yang tidak ada tuntunannya pastilah dianggap sebagai bidáh dan pastinya suatu amalan yang seperti itu tidak akan diterima. Padahal sudah diberikan keterangan bahwa ibadah ada 2, yaitu mahdhoh  dan ghairu mahdhoh.

Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang tatacara dan syarat rukunnya sudah ditentukan, karenanya tidak boleh ada improvisasi dalam bentuk apapun meski itu bertujuan baik menurut kita. Contohnya ibadah haji, sholat fardhu dan lain lain. Jadi kalau sholat Asar sudah ditentukan 4 rokaat, maka tidak boleh dikurangi menjadi 3 atau dijadikan 5 rokaat biar lebih panjang ibadahnya.

Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang perintahnya ada, namun secara pelaksanaan diserahkan kepada kita sesuai dengan kondisi kita masing masing. Misalnya shodaqoh. Kita diperintah untuk bersedekah sebanyak mungkin dan seikhlas mungkin. Maka mengenai jumlah dan hal yang disedekahkan adalah bebas asalkan itu baik.

Namun si teman saya ini selalu ngengkel (apa ya sari tilawah dari ngengkel?) bahwa kalau tidak ada contoh langsung dari kanjeng nabi, maka itu dianggap ngarang.

Suatu hari ketika membahas tentang hari raya qurban, saya ceritakan bahwa selain kambing, onta dan sapi, ada sahabat yang memperbolehkan seseorang yang karena saking miskinnya dia tidak mampu menyembelih kambing, namun yang dia mampu hanyalah ayam. Ini adalah pendapat dari sahabat Ibnu Abbas ra.

Seperti biasanya, si teman tadi langsung menyergap dengan pertanyaan khasnya, " Apakah ayam ada tuntunannya?"

Sontak saya jawab, "Setahu saya, kalau ayam memang tidak pernah ada tuntunannya. Kalau ayam ada tuntunannya, pasti yang masang orang gila atau orang iseng."

Kontan seluruh yang ikut ngaji tertawa terbahak-bahak membayangkan ayam yang ada tuntunannya.

Clegukkk.......
Readmore → Berqurban Ayam

Utsman bin Affan ra

Nama aslinya: Utsman bin Affan
Lahir: 574M
Wafat: 656M / 12 Dzulhijjah 35 H
Periode Khalifah: 11 November 644M – 20 June 656M

Utsman bin Affan ra. (574M - 656M /12 Dzulhijjah 35 H; umur 81-82 tahun) adalah sahabat Nabi Muhammad saw yang termasuk Khulafaur Rasyidin yang ke-3. Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya dan dermawan. Utsman juga berjasa dalam hal menyusun dan membukukan Al-Qur'an. 

 Ia adalah khalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 (umur 69-70 tahun) sampai 656 (selama 11-12 tahun). Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu. 

 Utsman bin Affan ra adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. Ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga Pemberontakan   kufah Saw yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. 

Utsman bin Affan ra lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Nama ibunya adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah. ia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ra dan termasuk golongan (as Sabiqun Awwalun) golongan yang pertama-tama masuk Islam. Rasulullah Saw sendiri menggambarkan Utsman bin Affan ra. sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin.

Kemuliaan Utsman

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah rha. bertanya kepada Rasulullah Saw, "Abu Bakar ra masuk tapi engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus, lalu Umar bin Khattab ra masuk engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk engkau terus duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?" 

Rasulullah menjawab, "Apakah aku tidak malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya". 

 Pada saat seruan hijrah pertama oleh Rasullullah saw. ke Habbasyiah karena meningkatnya tekanan kaum Quraisy terhadap umat Islam, Utsman bersama istri dan kaum muslimin lainnya memenuhi seruan tersebut dan hijrah ke Habasyiah hingga tekanan dari kaum Quraisy reda. 

 Tak lama tinggal di Mekkah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad Saw untuk hijrah ke Madinah. Pada peristiwa Hudaibiyah, Utsman ra. dikirim oleh Rasullah saw. untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. 

 Utsman ra. diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka'bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah. 

Kedermawaan Utsman ra.

Perang Dzatu Al-Riqa

 Pada saat Perang Dzatu Al-Riqa dan Perang Ghatfahan berkecamuk, dimana Rasullullah Saw memimpin perang, Utsman dipercaya menjabat walikota Madinah. Saat Perang Tabuk, Utsman mendermakan 1.000 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya perang tersebut. Utsman bin Affan ra juga menunjukkan kedermawanannya tatkala membeli mata air yang bernama Rumah dari seorang pria suku Ghifar seharga 35.000 dirham. Mata air itu ia wakafkan untuk kepentingan rakyat umum. 

Pada masa pemerintahan Abu Bakar ra, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.

Diangkat Sebagai Khalifah ke Tiga

Setelah wafatnya Umar bin Khattab ra sebagai khalifah kedua, diadakanlah musyawarah untuk memilih khalifah selanjutnya. Ada enam orang kandidat khalifah yang diusulkan yaitu Ali bin Abi Thalib ra., Utsman bin Affan ra., Abdurrahman bin Auf ra., Sa'ad bin Abi Waqas ra., Zubair bin Awwam ra. dan Thalhah bin Ubaidillah ra. 

 Selanjutnya Abdurrahman bin Auf ra., Sa'ad bin Abi Waqas ra., Zubair bin Awwam ra., dan Thalhah bin Ubaidillah ra. mengundurkan diri hingga hanya Utsman dan Ali yang tertinggal. Suara masyarakat pada saat itu cenderung memilih Utsman menjadi khalifah ketiga. 

 Maka diangkatlah Utsman yang berumur 70 tahun menjadi khalifah ketiga dan yang tertua, serta yang pertama dipilih dari beberapa calon. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 24 H. Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan dan terstruktur. 

 Pada tahun pertama dari khilafah Utsman bin Affan, yaitu tahun 24 Hijriah, negeri Rayyi berhasil ditaklukkan. Sebelumnya, negeri ini pernah ditaklukkan, tetapi kemudian dibatalkan. Pada tahun yang sama, berjangkit wabah demam berdarah yang menimpa banyak orang. Khalifah Utsman bin Affan sendiri terkena sehingga ia tidak dapat menunaikan ibadah haji. Pada tahun ini, Utsman bin Affan ra mengangkat Sa'ad bin Abi Waqqash menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin Syu'bah. 

 Di tahun 25 Hijriah, Utsman bin Affan ra memecat Sa'ad bin Abi Waqqash dari jabatan gubernur Kufah dan sebagai gantinya diangkatlah Walid bin Uqbah bin Abi Mu'ith (seorang Shahabi dan saudara seibu dengan Utsman bin Affan). Inilah sebab pertama dituduhnya Utsman bin Affan melakukan nepotisme. 

Perluasan Masjidil Haram & Madinah

Pada tahun 26 Hijriah, Utsman bin Affan ra melakukan perluasan Masjidil Haram dengan membeli sejumlah tempat dari para pemiliknya lalu disatukan dengan masjid. Pada tahun 17 Hijriah, Mu'awiyah menyerang Qubrus (Siprus) dengan membawa pasukannya menyeberangi lautan. Di antara tim ini terdapat Ubadah bin Shamit dan istrinya, Ummu Haram binti Milhan al-Ansharish. Dalam perjalanan, Ummu Haram jatuh dari kendaraannya kemudian syahid dan dikuburkan di sana. 

Nabi Muhammad saw pernah memberi-tahukan kepada Dia berkata pada tim ini, seraya berdoa agar Dia berkata menjadi salah seorang dari anggota tim ini. Pada tahun ini, Utsman bin Affan menurunkan Amru bin Ash dari jabatan gubernur Mesir dan sebagai gantinya diangkatlah Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh. Dia kemudian menyerbu Afrika dan berhasil menaklukkannya dengan mudah. Di tahun ini pula, Andalusia berhasil ditaklukkan. 

 Tahun 29 Hijriah, negeri-negeri lain berhasil ditaklukkan. Pada tahun ini, Utsman bin Affan memperluas masjid Madinah al-Munawarah dan membangunnya dengan batu-batu berukir. Ia membuat tiangnya dari batu dan atapnya dari kayu (gulir).Panjangnya 160 depa dan luasnya 150 depa. 

 Negeri-negeri Khurasan ditaklukkan pada tahun ke-30 Hijriah sehingga banyak terkumpul Kharaj (infaq penghasilan) dan harta dari berbagai penjuru. Allah memberikan karunia yang melimpah dari semua negeri kepada kaum Muslimin. 

Pada tahun 32 Hijriah, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas'ud, dan Abu Darda 'wafat. Orang-orang yang pernah menjabat sebagai hakim negeri Syam sampai saat itu adalah Mu'awiyah, Abu Dzarr bin Jundab bin Junadah al-Ghiffari, dan Zaid bin Abdullah. Pada tahun ke-33 Hijriah, Abdullah bin Mas'ud bin Abi Sarh menyerbu Habasyah.

Pemberontakan

Seperti diketahui, Utsman bin Affan ra. mengangkat para kerabatnya dari bani Umayyah menduduki berbagai jabatan. Kebijakan ini mengakibatkan dipecatnya sejumlah sahabat dari berbagai departemen mereka dan digantikan oleh orang yang disukai-nya dari kerabatnya. Kebijakan ini mengakibatkan rasa tidak senang banyak orang terhadap Utsman bin Affan. Hal inilah yang dijadikan pemicu orang Yahudi yaitu Abdullah bin Saba 'dan teman-temannya untuk membangkitkan fitnah. 

 Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa penduduk Kufah umumnya melakukan pemberontakan dan konspirasi terhadap Sa'id ibnul Ash, pemimpin Kufah. Mereka kemudian mengirim utusan kepada Utsman bin Affan ra. guna menggugat kebijakannya dan alasan pemecatan sejumlah orang dari bani Umayyah. Dalam pertemuan ini, utusan tersebut berbicara kepada Utsman bin Affan ra dengan bahasa yang kasar sekali sehingga membuat dadanya sesak. Ia lalu memanggil semua pimpinan tim untuk dimintai pendapatnya. 

 Akhirnya, berkumpullah di hadapannya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan (pemimpin negeri Syam), Amr ibnul Ash (pemimpin negeri Mesir), Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh (pemimpin negeri Maghrib), Sa'id ibnul Ash (pemimpin negeri Kufah), dan Abdullah bin Amir (pemimpin negeri Bashrah). Kepada mereka, Utsman bin Affan ra meminta pandangan tentang peristiwa yang terjadi dan perpecahan yang muncul. 

 Masing-masing dari mereka kemudian mengemukakan pendapat dan pandangannya. Setelah mendengar berbagai pandangan dan mendiskusikannya, akhirnya Utsman bin Affan memutuskan untuk tidak melakukan penggantian para gubernur dan pembantunya. Kepada masing-masing mereka, Utsman bin Affan ra memerintahkan agar menjinakkan hati para pemberontak dan pembangkang tersebut dengan memberi harta dan mengirim mereka ke medan peperangan lain dan pos-pos perbatasan. 

 Setelah peristiwa ini, di Mesir muncul satu kelompok dari anak-anak para sahabat. Mereka menggerakkan massa untuk menentang Utsman bin Affan ra dan menggugat sebagian besar tindakannya. Kelompok ini melakukan tindakan tersebut tentu setelah Abdullah bin Saba' berhasil menyebarkan kerusakan dan fitnah di Mesir. Ia berhasil menghasut sekitar enam ratus orang untuk berangkat ke Madinah dengan berkedok melakukan ibadah umrah, namun sebenarnya mereka bertujuan menyebarkan fitnah dalam masyarakat Madinah. 

 Tatkala mereka hampir memasuki Madinah, Utsman bin Affan ra mengutus Ali bin Abi Thalib untuk menemui mereka dan berbicara kepada mereka. Ali bin Abi Thalib kemudian berangkat menemui mereka di Kufah. Mereka ini mengagungkan Ali bin Abi Thalib dengan sangat berlebihan, karena Abdullah bin Saba' telah berhasil mempermainkan akal pikiran mereka dengan berbagai khurafat dan penyimpangan. Setelah Ali bin Abi Thalib ra. membantah semua penyimpangan pemikiran yang sesat itu, mereka menyesali diri seraya berkata, "Orang inikah yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes Khalifah (Utsman bin Affan)?" Mereka kemudian kembali dengan membawa kegagalan. 

 Ketika menghadap Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib melaporkan kepulangan mereka dan mengusulkan agar Utsman bin Affan ra menyampaikan pidato kepada orang banyak, guna meminta maaf atas tindakannya mengutamakan sebagian kerabatnya dan telah bertobat dari tindakan tersebut. Usulan ini diterima olehnya dan Utsman bin Affan ra kemudian berpidato di depan orang banyak pada hari Jum'at. Dalam pidato ini, di antaranya Utsman bin Affan mengatakan, "Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu. Ya Allah, aku adalah orang yang pertama bertobat dari apa yang telah aku lakukan." 

 Pernyataan ini diucapkannya sambil menangis sehingga membuat semua orang ikut menangis. Utsman bin Affan ra kemudian menegaskan kembali, bahwa ia akan menghentikan kebijakan yang menyebabkan timbulnya protes tersebut. Ditegaskan-nya bahwa ia akan memecat Marwan dan kerabatnya. 

 Setelah penegasan tersebut, Marwan bin Hakam menemui Utsman bin Affan. Dia menghamburkan kecaman dan protes kemudian berkata, "Andaikan ucapanmu itu engkau ucapkan pada waktu engkau masih sangat kuat, niscaya aku adalah orang yang pertama menerima dan mendukungnya, tetapi engkau mengucapkannya ketika banjir bah telah mencapai puncak gunung. Demi Allah, melakukan suatu kesalahan kemudian meminta ampunan dari-Nya adalah lebih baik dari tobat karena takut kepada-Nya. Jika suka, kamu dapat melakukan tobat tanpa menyatakan kesalahan kami." 

 Marwan kemudian memberitahukan kepadanya bahwa di balik pintu ada segerombolan orang. Utsman bin Affan ra. menunjuk Marwan untuk berbicara kepada mereka sesukanya. Marwan lalu berbicara kepada mereka dengan suatu pembicaraan yang buruk, sehingga merusak apa yang selama ini diperbaiki oleh Utsman bin Affan. Dalam pembicaraannya, Marwan berkata, "Kalian datang untuk merebut pemerintahan dari tangan kami. Keluarlah kalian dari sisi kami. Demi Allah, jika kalian membangkang kepada kami, niscaya kalian akan mengalami kesulitan dan tidak akan menyukai akibatnya." 

 Setelah mengetahui hal ini, Ali bin Abi Thalib segera datang menemui Utsman bin Affan ra dan dengan nada marah, ia berkata, "Mengapa engkau merelakan Marwan, sementara dia tidak menghendaki kecuali memalingkan engkau dari agama dan pikiranmu! Demi Allah, Marwan adalah orang yang tidak layak dimintai pendapat tentang agama atau dirinya sekalipun. Demi Allah, aku melihat bahwa dia akan menghadirkan kamu kemudian tidak akan mengembalikan kamu lagi. Saya tidak akan kembali setelah ini karena teguran-ku kepadamu. " 

 Setelah Ali bin Abi Thalib keluar, Na'ilah masuk menemui Utsman bin Affan ra (ia telah mendengarkan apa yang diucapkan Ali bin Abi Thalib kepada Utsman bin Affan) kemudian berkata, "Aku harus bicara atau diam!" Utsman bin Affan ra menjawab, "Bicara lah!" Na'ilah berkata, "Aku telah mendengar ucapan Ali bin Abi Thalib bahwa dia tidak akan kembali lagi padamu, karena engkau telah menaati Marwan dalam segala apa yang dikehendakinya," Utsman bin Affan berkata, "Berilah pendapatmu kepadaku." 

 Na'ilah memberikan pendapatnya, "Bertaqwa lah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ikutilah sunnah kedua sahabatmu yang terdahulu Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra, sebab jika engkau menaati Marwan, niscaya dia akan membunuhmu. Marwan adalah orang yang tidak memiliki harga di sisi Allah, apalagi rasa takut dan cinta. Utuslah seseorang menemui Ali bin Abi Thalib guna meminta pendapatnya, karena dia memiliki kekerabatan denganmu dan dia tidak layak ditentang." 

Utsman bin Affan ra kemudian mengutus seseorang kepada Ali bin Abi Thalib, tetapi Dia menolak datang. Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa aku tidak akan kembali lagi". Sikap ini merupakan awal krisis yang menyulut api fitnah dan memberikan kesempatan kepada para tukang fitnah, untuk memperbanyak kayu bakarnya dan mencapai tujuan-tujuan busuk yang mereka inginkan.

Pemalsuan Surat Utsman ra

Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama dua belas tahun. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan celah untuk mendendam-nya. Beliau bahkan lebih dicintai oleh orang-orang Quraisy umumnya ketimbang Umar bin Khattab ra, karena Umar bin Khattab ra bersikap keras terhadap mereka, sedangkan Utsman bin Affan ra bersikap lemah lembut dan selalu menjalin hubungan dengan mereka. 

 Akan tetapi, masyarakat mulai berubah sikap terhadapnya, tatkala ia mengutamakan kerabatnya dalam pemerintahan, sebagaimana telah kami sebutkan. Kebijakan ini dilakukan Utsman bin Affan ra pada pertimbangan silaturrahim yang merupakan salah satu perintah Allah. Akan tetapi, kebijakan ini pada akhirnya menjadi sebab pembunuhannya. 

 Ibnu Asakir meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata, "Aku pernah berkata kepada Sa'id bin Musayyab, Ceritakanlah kepadaku tentang pembunuhan Utsman! Bagaimana hal ini sampai terjadi". Ibnul Musayyab berkata, "Utsman dibunuh secara aniaya. Pembunuhnya adalah kejam dan pengkhianatnya adalah orang yang membutuhkan ampunan. Ibnul Musayyab kemudian menceritakan kepada az-Zuhri tentang sebab pembunuhannya dan bagaimana hal itu dilakukan. Kami sebutkan di sini secara singkat. 

 Para penduduk Mesir datang mengadukan Ibnu Abi Sarh. Setelah pengaduan ini, Utsman bin Affan menulis surat kepadanya yang berisikan nasehat dan peringatan terhadapnya. Akan tetapi, Abu Sarh tidak mau menerima peringatan Utsman bin Affan, bahkan mengambil tindakan keras terhadap orang yang mengadukannya. 

 Selanjutnya, para tokoh sahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah mengusulkan agar Utsman bin Affan ra memecat Ibnu Abi Sarh dan menggantinya dengan orang lain. Utsman bin Affan ra. lalu berkata kepada mereka, "Pilihlah orang yang dapat menggantikannya." Mereka mengusulkan Muhammad bin Abu Bakar ra. Utsman bin Affan ra kemudian menginstruksikan hal tersebut dan mengangkatnya secara resmi. Surat keputusan ini kemudian dibawa oleh sejumlah sahabat ke Mesir. Baru tiga hari perjalanan dari Madinah, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pemuda hitam berkendaraan unta yang berjalan mundur maju. 

 Para sahabat Rasulullah itu kemudian menghentikannya seraya berkata, "Mengapa kamu ini! Kamu terlihat seperti orang yang lari atau menemukan sesuatu!" Ia menjawab, "Saya adalah pembantu Amirul Mukminin yang diutus untuk menemui Gubernur Mesir." Ketika ditanya, "Utusan siapa kamu ini!" Dengan gagap dan ragu-ragu, ia kadang-kadang menjawab, "Saya pembantu Amirul Mukminin," dan kadang-kadang pula ia menjawab, "Saya pembantu Marwan." Mereka kemudian mengeluarkan sebuah surat dari barang bawaannya. 

 Di hadapan dan disaksikan oleh para sahabat dari Anshar dan Muhajirin tersebut, Muhammad bin Abu Bakar membuka surat tersebut yang ternyata berisi, "Jika Muhammad saw beserta si fulan dan si fulan datang kepadamu, bunuhlah mereka dan batalkan-lah suratnya. Dan tetaplah engkau melakukan tugasmu sampai engkau menerima keputusanku. Aku menahan orang yang akan datang kepadaku mengadukan dirimu." 

 Akhirnya, para sahabat itu kembali ke Madinah dengan membawa surat tersebut. Mereka kemudian mengumpulkan para tokoh sahabat dan memberitahukan ihwal surat dan kisah utusan tersebut. 

 Peristiwa ini membuat seluruh penduduk Madinah gempar dan benci terhadap Utsman bin Affan ra. Setelah melihat hal ini, Ali bin Abi Thalib ra. segera memanggil beberapa tokoh sahabat, antara lain Thalhah bin Ubaidillah ra., Zubair bin Awwam ra., Sa'ad bin Abu Waqqash ra., dan Ammar. Bersama mereka, Ali bin Abi Thalib dengan membawa surat, pembantu, dan unta tersebut, masuk menemui Utsman bin Affan. Ali bin Abi Thalib bertanya kepada Utsman bin Affan, "Apakah pemuda ini pembantumu?" 

Utsman bin Affan ra. menjawab "Ya." 

Ali bin Abi Thalib bertanya lagi, "Apakah unta ini untamu?" 

Utsman bin Affan ra menjawab "Ya." 

Ali bin Abi Thalib bertanya lagi, "Apakah kamu pernah menulis surat ini?" 

Utsman bin Affan ra menjawab, "Tidak." Utsman bin Affan ra. kemudian bersumpah dengan nama Allah, "Aku tidak pernah menulis surat tersebut, tidak pernah memerintahkan penulisan surat, dan tidak mengetahui ihwal surat tersebut." 

Ali bin Abi Thalib bertanya lagi, "Apakah stempel ini, stempel-mu?" 

Utsman bin Affan ra menjawab, "Ya." 

Ali bin Abi Thalib bertanya lagi, "Bagaimana pembantumu ini bisa keluar dengan menunggang untamu dan membawa surat yang distempel, dengan stempel-mu, sedangkan engkau tidak mengetahuinya?" 

Utsman bin Affan ra. kemudian bersumpah, "Dengan nama Allah, Aku tidak pernah menulis surat ini, tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula mengutus pembantu ini ke Mesir." 

Mereka kemudian memeriksa tulisan surat tersebut dan mengetahui bahwa surat itu ditulis oleh Marwan. Mereka lalu meminta kepada Utsman bin Affan ra. agar menyerahkan Marwan kepada mereka, tetapi Utsman bin Affan ra. tidak bersedia melakukannya, padahal Marwan saat itu berada di dalam rumahnya. Akhirnya, orang-orang keluar dari rumah Utsman bin Affan ra dengan perasaan marah. Mereka mengetahui bahwa Utsman bin Affan ra. tidak berdusta dalam bersumpah, tetapi mereka marah karena dia tidak bersedia menyerahkan Marwan kepada mereka.

Pembunuhan Utsman ra

 Setelah itu, tersiarlah berita tersebut di seluruh kota Madinah, sehingga sebagian masyarakat mengepung rumah Utsman bin Affan ra. dan tidak memberikan air kepadanya. Setelah Utsman bin Affan ra. dan keluarganya merasakan kepayahan akibat terputusnya air, ia menemui mereka seraya berkata, "Apakah seseorang yang sudi memberi tahu Ali bin Abi Thalib agar memberi air kepada kami?" Setelah mendengar berita ini, Ali bin Abi Thalib segera mengirim tiga qirbah air. Kiriman air ini pun sampai kepada Utsman bin Affan ra melalui cara yang sulit sekali. 

 Pada saat itu, Ali bin Abi Thalib mendengar desas-desus tentang adanya orang yang ingin membunuh Utsman bin Affan ra., lalu ia berkata "Yang kita inginkan darinya adalah Marwan, bukan pembunuhan Utsman bin Affan ra." Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain, "Pergilah dengan membawa pedang kalian untuk menjaga pintu rumah Usman. Jangan biarkan seorang pun masuk kepadanya." Hal ini juga dilakukan oleh sejumlah sahabat Rasulullah saw demi menjaga Utsman bin Affan ra. Ketika para pengacau menyerbu pintu rumah Utsman bin Affan ra ingin masuk dan membunuhnya, mereka dihentikan oleh Hasan dan Husain serta sebagian sahabat. 

 Khalifah Utsman kemudian dikepung oleh pemberontak selama 40 hari dimulai dari bulan Ramadhan hingga Dzulhijah. Beliau diberi 2 ulimatum oleh pemberontak, yaitu mengundurkan diri atau dibunuh. Meski Utsman mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan pemberontak, namun ia berprinsip untuk tidak menumpahkan darah umat Islam. 

 Sejak itu, pengepungan rumah Utsman bin Affan ra. lebih ketat dan secara sembunyi-sembunyi berhasil masuk dari atap rumah. Mereka berhasil menebaskan pedang sehingga Khalifah Utsman bin Affan ra terbunuh. Ketika mendengar berita ini, Ali bin Abi Thalib datang dengan wajah marah, seraya berkata kepada dua orang anaknya, "Bagaimana Amirul Mukminin bisa dibunuh, sedangkan kalian berdiri menjaga pintu?" Ali bin Abi Thalib kemudian menampar Hasan dan memukul dada Husain, serta mengecam Muhammad bin Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Demikianlah, pembunuhan Utsman bin Affan ra merupakan pintu dari mata rantai fitnah yang terus membentang tanpa akhir. 

Utsman bin Affan ra. akhirnya wafat sebagai syahid pada bulan Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Quran. Persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah Saw perihal kematian Utsman yang syahid nantinya. peristiwa pembunuhan Utsman berawal dari pengepungan rumah Utsman oleh para pemberontak selama 40 hari. Utsman wafat pada hari Jum'at 18 Dzulhijjah 35 H. Ia dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.

Readmore → Utsman bin Affan ra

Umar bin Khothob ra


Nama aslinya: Umar bin Khattab
Lahir: 579M
Wafat: 3 November 644M
Masa jabatan Khalifah: 23 Agustus 634M – 03 November 644M

Umar memiliki garis keturunan Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar Bin Khattab ra. Umar Lahir pada tahun 581M dan wafat pada tahun November 644 M. Umar Bin Khattab ra. adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang juga adalah khalifah kedua Islam (634M-644M). Umar juga merupakan satu diantara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk (Khulafaur Rasyidin). 

 Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Keluarga Umar ra. keluarga kelas menengah, Ayahnya bernama Khattab bin Nufail Al Shimh Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. 

 Di masa mudanya, Umar ra. Kesederhanaan nta ayahnya di dataran dekat Mekkah. Ayahnya terkenal karena kecerdasannya antara sukunya. Dia adalah seorang pedagang kelas tinggi dan merupakan seorang pria dengan emosional musyrik kejam yang sering memperlakukan Umar buruk. Seperti pernyataan Umar sendiri mengenai ayahnya selama kekuasaan politik di kemudian hari, Umar mengatakan, "Ayah saya, Al-Khattab adalah orang yang kejam sering memaksa saya bekerja keras; Jika saya tidak bekerja dia sering memukul saya dan dia pernah membuat saya bekerja hingga kelelahan". 

Meskipun baca-tulis jarang terjadi di Arab pra-Islam, Umar belajar membaca dan menulis di masa mudanya. Meskipun bukan penyair sendiri, ia mengembangkan minat untuk puisi dan sastra. Menurut tradisi Quraish, Umar belajar seni bela diri, berkuda dan gulat. Dia tinggi, kuat secara fisik dan segera menjadi pegulat terkenal. Umar juga seorang orator berbakat, dan karena kecerdasan dan kepribadian yang luar biasa, ia menggantikan ayahnya sebagai penengah konflik antara suku-suku.

Masuk Islam

Pada suatu hari, puncak kebencian terhadap ajaran Muhammad saw, Umar bin Khattab ra. memutuskan untuk mencoba membunuh Muhammad, namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Muhammad saw bernama Nu'aim bin Abdullah yang memberi kabar bahwa saudara perempuan Umar bin Khattab ra. masuk Islam, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang ingin dibunuhnya saat itu. Nu `aim bin Abdullah al 'Adawi adalah seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. 

 Nu `aim bin Abdullah itu berkata kepada Umar bin Khattab ra., "Mau kemana wahai Umar?" 

Umar Bin Khattab ra. menjawab, "Aku ingin membunuh Muhammad." 

Lelaki tadi berkata, "Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?" 

Maka Umar bin Khattab ra. menjawab, "Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu." 

Tapi Nu `aim bin Abdullah tadi menimpali, "Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesungguhnya adik perempuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini." Karena berita itu, Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan maksud untuk menghukum adiknya. 

 Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur'an, surat Thaha kepada Khabab bin Al Arats. Umar Bin Khattab ra. masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya, kemudian adik perempuan Umar Bin Khattab ra. dan suaminya berkata, "Kami tidak sedang membicarakan apa-apa." 

Umar Bin Khattab ra. menimpali, "Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian." 

Iparnya menjawab, "Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?" 

Mendengar ungkapan tersebut Umar Bin Khattab ra. memukulnya sampai terluka dan berdarah, karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar Bin Khattab ra. berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya. 

 Umar Bin Khattab ra. berkata, "Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya." 

Maka adik perempuannya berkata, "Kamu itu kotor. Tidak bisa menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah dan berwudhulah terlebih dahulu!" lantas Umar Bin Khattab ra. mandi dan berwudhu kemudian mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika Umar ra. membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta diantar pada Rasulullah saw. 

 Mendengar perkataan Umar bin Khattab ra., Khabab berkata, "Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, "Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam. "Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa." 

Umar Bin Khattab ra. mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar Bin Khattab ra. datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah saw. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya, "Ada apa kalian?" Mereka menjawab, "Umar datang" Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, "Bukalah pintunya, kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya." Kemudian Nabi Muhammad saw menemui Umar Bin Khattab ra. dan berkata kepadanya. "Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab." 

Dan dalam riwayat lain: "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar." Seketika itu pula Umar Bin Khattab ra. bersyahadat dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir engan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam.

Kejayaan Bersama Umar

Abdullah bin Mas'ud berkomentar, "Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar Bin Khattab ra. masuk Islam." Setelah Umar Bin Khattab ra. menyatakan memeluk Islam, hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang Nabi Muhammad saw kemudian memeluk ajarannya, akibatnya Umar Bin Khattab ra. dikucilkan dari pergaulan Mekkah dan ia menjadi kurang atau tidak dihormati lagi oleh para petinggi Quraisy yang selama ini diketahui selalu membelanya. 

 Keislaman beliau telah memberikan andil besar untuk perkembangan dan kesuksesan Islam. Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah. Beliau adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan as-Sunnah setelah Abu Bakar As Siddiq ra. 

 Pada tahun 622 M, Umar Bin Khattab ra ikut bersama Nabi Muhammad saw dan pemeluk Islam lain hijrah (migrasi) ke Yatsrib (sekarang Madinah). Ia juga terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar dan penyerangan ke Suriah. 

 Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad saw. Ia dianggap sebagai seorang yang paling disegani oleh kaum Muslim pada masa itu karena selain reputasinya yang memang terkenal sejak masa pra-Islam, juga karena ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam di setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu melawan kawan-kawan lamanya yang dulu bersama mereka ikut menyiksa Nabi Muhammad saw dan para pengikutnya. 

 Pada saat kabar kematian Nabi Muhammad SAW, pada 8 Juni 632 M (12 Rabiul Awal, 10 Hijriah) di Madinah sampai kepada umat Muslim secara keseluruhan, Umar dikabarkan sebagai salah seorang yang paling terguncang atas peristiwa itu, ia menghambat siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Akibat syok yang ia terima, Umar Bin Khattab ra bersikeras bahwa Muhammad saw tidaklah wafat melainkan hanya sedang tidak sadarkan diri, dan akan sadar sewaktu-waktu. 

Abu Bakar ra yang mendengar kabar bergegas kembali dari Madinah, Ia menemukan Umar Bin Khattab ra. sedang menahan Muslim yang lain dan lantas mengatakan "Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati. "! Abu Bakar ra. mengingatkan kepada para pemeluk Islam yang sedang terguncang, termasuk Umar saat itu, bahwa Nabi Muhammad, seperti halnya mereka, adalah seorang manusia biasa, Abu Bakar ra. kemudian membacakan ayat dari Al Qur'an yang mencoba untuk mengingatkan mereka kembali kepada ajaran yang diajarkan Nabi Muhammad saw yaitu kefanaan makhluk yang diciptakan. Setelah peristiwa itu Umar Bin Khattab ra. menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.

Sebagai Khalifah ke Dua

Pada masa Abu Bakar ra menjabat sebagai khalifah, Umar Bin Khattab ra. merupakan salah satu penasehat kepalanya. Setelah Abu Bakar ra meninggal pada tahun 634, Umar ditunjuk untuk menggantikannya sebagai khalifah kedua dalam sejarah Islam. Kepemimpinan Umar Bin Khattab ra. tak seorang pun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Siddiq ra. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo. 

 Dalam masa kepemimpinan 10 tahun Umar Bin Khattab ra. itu, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar Bin Khattab ra. memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. 

 Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna. 

 Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar Bin Khattab ra naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiyyah tahun 636 H. Pasukan Islam dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah, di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqash mengalahkan tim Sassania dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad. 

 Pada tahun 637 M, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat. 

Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar Bin Khattab ra. di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar Bin Khattab ra. wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.

Kepemimpinan Umar bin Khothob ra

Selain pemberani, Umar Bin Khattab ra juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas'ud berkata, "Seandainya ilmu Umar Bin Khattab ra diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar Bin Khattab ra. lebih berat dibandingkan ilmu mereka". 

 Umar Bin Khattab ra.melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administrasi untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638 M, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam. 

 Dengan kecerdasannya beliau menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur'an dalam bentuk mushaf, menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun akomodasi, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum "khamr" (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya. 

 Namun dengan begitu ia tidak menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang pemimpin yang zuhud lagi wara. Ia berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, "Pada suatu hari Umar Bin Khattab ra. memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannya dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang." Abdullah, putranya berkata, "Umar Bin Khattab ra berkata, "Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT." 

 Beliaulah yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang, Ia berjanji tidak akan makan minyak samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang memakannya. Tidak diragukan lagi, khalifah Umar Bin Khattab ra. adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar Bin Khattab ra. sering terlambat shalat Jum'at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya memiliki dua baju. 

Umar Bin Khattab ra. dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana. Kebijaksanaan dan keadilan Umar Bin Khattab ra. ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah SWT.

Kesederhanaan Umar bin Khothob ra

Hurmuzan dan Sayyidina Umar bin Khattab r.a

 Dengan ditemani Sayyidina Anas Bin Malik, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan kemegahannya. Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan kemuliaan seorang raja. Perhiasan yang bertatah permata melekat di dahi. Sementara mantel sutra yang mewah menutupi pundaknya.Sementara itu sebilah pedang bengkok dengan hiasan batu-batu mulia menggantung disabuknya. Ia bertanya-tanya dimana Amirul Mu’minin bertempat tinggal. Ia membayangkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab yang kemasyhurannya tersebar keseluruh dunia pasti tinggal di Istana yang sangat megah. 

 Sampai di Madinah mereka langsung menuju tempat kediaman Umar. Tetapi mereka diberitahu bahwa Umar sudah pergi ke Masjid sedang menerima delegasi dari Kufah. Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi tidak juga bertemu Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak di Madinah mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu diberitahukan bahwa Amirul Mu’minin sedang tidur di beranda kanan masjid dengan menggunakan mantelnya sebagai bantal seorang diri. Betapa terkejutnya Hurmuzan, ketika ditunjukan bahwa Umar adalah lelaki yang berpakaian seadanya yang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris tak percaya, tetapi memang itulah kenyataannya. 

Sambil berdecak kagum Hurmuzan mengatakan, “Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan adil, lalu engkau aman dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman”.

Tunjangan Untuk Khalifah Umar bin Khattab

 Tatkala ‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya, yaitu Abû Bakar r.a. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik. Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata, “Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk beliau dinaikkan. Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan hidup beliau.”‘ 

 Alî kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini diberikan pada waktu-waktu yang telah lalu.”Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah ‘Umar. Namun, Utsmân menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada ‘Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, ‘Umar akan murka kepada kita.”Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan bagi Khalifah ‘Umar.“Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan nama seorang pun di antara kami,” demikian kata mereka.Ketika Hafshah menanyakan hal itu kepada ‘Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?” Hafshah menjawab, “Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu. 

Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu.”Setelah itu, ‘Umar balik bertanya kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika Rasulullah saw. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di rumahnya?”Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari.” ‘Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?” Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin.”‘Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?”Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alastidur.”‘Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah saw. selalu hidup sederhana. 

Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku punakan mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku dengan sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abû Bakar—adalah ibarat tiga orang yang sedang berjalan. Salah seorang di antara ketiganya telah sampai di tempat tujuan, sedangkanyang kedua menyusul di belakangnya. Setelah keduanya sampai, yang ketiga pun mengikuti perjalanan keduanya. Ia menggunakan bekal kedua kawannya yangterdahulu. Jika ia puas dengan bekal yang ditinggalkan kedua kawannya itu, ia akan sampai di tempat tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya yang telah tiba lebih dahulu. Namun, jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak akan bertemu dengan kedua kawannya itu di akhirat.”

Sayyidina Umar dan Rakyat Yang Kelaparan

 Suatu malam, Sang Khalifah menemukan sebuah gubuk kecil yang dari dalamnya nyaring terdengar suara tangis anak-anak. Umar mendekat dan memerhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat melihat ada seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya.Ibu itu kelihatan sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang Ibu berkata, “Tunggulah! Sebentar lagi makanannya akan matang.” 

Selagi Umar memerhatikan di luar, sang ibu terus menenangkan anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan sebentar lagi akan matang.Umar menjadi penasaran. 

Setelah memberi salam dan meminta izin, dia memasuki gubuk itu dan bertanya kepada sang ibu, “Mengapa anak-anak Ibu tak berhenti menangis?”
“Itu karena mereka sangat lapar,” jawab si ibu.
“Mengapa tidak ibu berikan makanan yang sedang Ibu masak sedari tadi itu?”
“Tidak ada makanan. Periuk yang sedari tadi saya masak hanya berisi batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah mereka berpikir bahwa periuk itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan tertidur.”
“Apakah Ibu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.
“Ya. Saya sudah tidak memiliki keluarga ataupun suami tempat saya bergantung. Saya sebatang kara,” jawab si ibu datar, berusaha menyembunyikan kepedihan hidupnya.
“Mengapa Ibu tidak meminta pertolongan kepada Khalifah? Sehingga beliau dapat menolong Ibu beserta anak-anak Ibu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan sangat membantu kehidupan ibu dan anak-anak,” nasihat Umar.
“Khalifah telah berbuat zalim kepada saya,” jawab si ibu.
“Bagaimana Khalifah bisa berbuat zalim kepada ibu?” sang Khalifah ingin tahu.
“Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang senasib dengan saya.”
Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali!”

 Pada malam yang telah larut itu, Umar segera bergegas ke Madinah, menuju Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di pundaknya. Abbas, sahabatnya membantu membawa minyak samin untuk memasak. 

 Maka, ketika Khalifah menyerahkan sekarung gandum yang besar kepada si ibu beserta anak-anaknya yang miskin, bukan main gembiranya mereka menerima bahan makanan dari lelaki yang tidak dikenal ini. Umar berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal. 

 Setelah keesokan harinya, ibu dan anak-anaknya pergi untuk menemui Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri, Khalifah Umar bin Khattab. 

Segera saja si ibu minta maaf atas kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya zalim terhadapnya. Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah.

Berbicara Dalam Gelap

 Umar bin Khattab tidak saja di kenal sebagai khalifah yang berwibawa, tapi juga sederhana dan merakyat. Untuk mengetahui keadaan rakyatnya, Umar tak segan-segan menyamar jadi rakyat biasa. 

 Ia sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri. Pada saat seperti itu tak seorang pun mengenalinya bahwa ia sesungguhnya kepala pemerintahan. Kalau ia menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan. 

 Umar sadar, apa yang ada di tangannya saat itu bukanlah miliknya melainkan milik rakyat. Untuk itu Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya. Ia selalu berhemat dalam menggunakan keperluannya sehari-hari. Karena hematnya, untuk menggunakan lampu saja keluarga amirulmukminin ini amat berhati-hati. Lampu minyak itu baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak pakai lampu. 

“Anak-anakku, lebih baik kita bicara dalam gelap. Sebab, minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu ini milik rakyat!” sahut khalifah ketika anaknya ingin bicara di tengah malam.
Menggali Parit Seorang Diri

 Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar dimana-mana. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Rupanya, cerita tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar. 

 Maka pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk mengawalnya berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota Madinah, dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu. 

“Wahai saudaraku!” seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya.

“Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan singgasana Umar?” tanyanya kemudian. Lelaki itu segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat.

“Wahai Tuan, Umar manakah yang Tuan maksudkan?” si penggali parit balik bertanya.

"Umar bin Khattab kepala pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana dan gagah berani,” kata raja. 

Lelaki penggali parit itu tersenyum. “Tuan salah terka. Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya,” terang si penggali parit,”.

“Ah benarkah? Mana mungkin kepala pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero negeri itu tak punya istana?” raja itu mengerutkan dahinya.

“Tuan tidak percaya? Baiklah, ikuti saya,” sahut penggali parit itu. 

 Lalu diajaknya rombongan raja itu menuju “istana” Umar. Setelah berjalan menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu masuk dan dipersilakannya duduk. Penggali parit itu pergi ke belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu kerajaan itu. 

“Sekarang antarkanlah kami ke kerajaan Umar!”kata raja itu tak sabar.

Penggali parit tersenyum. “Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar bin Khattab tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di mana letak kerajaan Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada di dalam istana Umar!” 

 Hah?!” Raja dan para pengawalnya terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya itu tidak menggambarkan sedikitpun sebagai pusat kerajaan. Meski rumah itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana. 

Rupanya raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya.
Lalu berdiri sambil mengacungkan pedangnya.

“Jangan coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!” ancamnya melotot.

Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun berdiri.” Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar,” kata penggali parit. Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada sarungnya. 

 Raja terkesima melihat keberanian dan ketenangan si penggali parit. Antara percaya dan tidak, dipandanginya wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya menyaksikan “istana” Umar itu. Muncullah pelayan-pelayan dan pengawal-pengawal untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun, raja itu belum juga percaya. 

“Benarkah ini istana Umar?”tanyanya pada pelayan-pelayan.

“Betul, Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab,” jawab salah seorang pelayan.

“Baiklah,” katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan pelayan itu.

“Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya!” ujar sang raja. 

Dengan sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah lelaki penggali parit yang duduk di hadapan raja.” Yang duduk di hadapan Tuan adalah Khalifah Umar bin Khattab” sahut pelayan itu.

“Hah?!” Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya.

“Jad…jadi, anda Khalifah Umar itu…?” tanya raja dengan tergagap.

Si penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah.

“Sejak kita pertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya Tuan sudah berhadapan dengan Umar bin Khattab!” ujarnya dengan tenang. 

 Kemudian raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia sangat terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar. Ia tak menyangka, Khalifah yang namanya disegani di seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggir kota. 

Sejak itu, raja selalu mengirim rakyatnya ke kota Madinah untuk mempelajari agama Islam.

Makanan Enak Untuk Khalifah

 Kisah Umar bin Khattab bisa menjadi cermin bagi kita. Ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khattab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan senang hati gubernur menerimanya seraya bertanya “Apa nama makanan ini?”. “Namanya Habish, terbuat dari minyak samin dan kurma”, jawab salah seorang dari mereka. 

 Sang Gubernur segera mencicipi makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan senyum. “Subhanallah” Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah dia akan senang, ujar Utbah. 

 Kemudian ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan dengan kadar yang diupayakan lebih enak. Setelah makanan tersedia, sang gubenur memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke madinah dan membawa habish untuk Khaliofah Umar bin Khattab. Sang khalifahsegera membuka dan mencicipinya. “Makanan Apan ini?” tanya Umar. 

“Makanan ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan,” jawab salah seorang utusan.

“Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bia menikmati makanan ini?’, tanya Umar lagi.

“Tidak. tidak semua bisa menikmatinya”, jawab utusan itu gugup

Wajah Khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memrintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada Gubernurnya ia menulis surat "makanan semanis dan seselezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu”

Wafat

 Umar Bin Khattab ra. wafat karena sebab dibunuh oleh Abu Lu'luah (Fairuz), budak milik al-Mughirah bin Syu'bah, pada saat memimpin shalat Subuh. Fairuz adalah orang Persia yang masuk Islam, setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara adidaya oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Umar Bin Khattab ra dimakamkan di samping Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar as Siddiq ra., beliau wafat dalam usia 63 tahun. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Utsman bin Affan ra. 

 Sebelum wafat Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Nabi Muhammad saw. Mereka adalah Utsman bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin Ubaidilah ra., Zubair bin Awwam ra., Sa'ad bin Abi Waqash ra., dan Abdurrahman bin Auf ra. 

Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka, dengan berkata, "Aku tidak mau bertanggung 
jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau Allah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu".

 Ibnu Abi Syaibah, Abu Ubaidah, An-Nasa'y, Abu Ya'la, Al-Baihaqy dan Ibnu Hibban mentakhrij dari Umar bin Khatthab ra., Dia berkata, "Aku berwasiat kepada Khalifah sesudahku agar mengetahui hak orang-orang Muhajirin kelompok yang pertama dan agar menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya untuk memperhatikan orang-orang Anshar yang telah menyediakan tempat tinggal dan beriman sejak sebelum kedatangan orang-orang Muhajirin, harus dia menerima kebaikan mereka dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya untuk berbuat baik kepada penduduk berbagai kota, karena mereka adalah penolong bagi Islam, pendukung dana dan penghadang musuh. Janganlah dia mengambil harta pun dari mereka kecuali harta yang berlebih dan menurut kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar dia berbuat baik kepada orang-orang badui, karena mereka merupakan asal mula bangsa Arab dan sumber Islam. Dia harus mengambil shadaqah dari orang-orang yang kaya dan membagikannya kepada orang-orang yang miskin. Aku juga berwasiat kepadanya agar memenuhi hak Ahli Dzhimmi seperti yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, sesuai dengan perjanjian dengan mereka. Dia bisa memerangi orang-orang selain mereka, dan tidak membebankan kepada mereka kecuali menurut kesanggupan mereka." 

Saat Umar masih hidup, Umar meninggalkan wasiat yaitu :
  1. Jika engkau menemukan cela pada seseorang dan kamu ingin mencacinya, maka cacilah dirimu, karena celamu lebih banyak darinya.
  2. Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu, karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
  3. Bila engkau ingin memuji seseorang, pujilah Allah SWT, karena tidak seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah SWT.
  4. Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia, sebab saat engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
  5. Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati, karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi dan penuh penyesalan.
  6. Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.


Readmore → Umar bin Khothob ra

Ali bin Abi Tholib ra

Sekilas Ali bin Abi Thalib ra

 Ali bin Abi Thalib ra. lahir sekitar 13 Rajab 23 tahun sebelum Hijriah / 599M - wafat 21 Ramadhan 40 Hijriah / 661M, adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad saw. Ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad saw, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Nabi Muhammad saw. 

 Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). 

 Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad saw masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun. 

 Ia bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Muhammad saw. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk memiliki penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi Muhammad saw memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah). Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu. 

 Kelahiran Ali bin Abi Thalib ra. banyak memberi hiburan bagi Nabi Muhammad saw karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad saw bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sejak kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad saw . 

 Ali bin Abi Thalib ra. tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama. 

 Ali bin Abi Thalib ra. adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek, perutnya agak menonjol, pundaknya lebar, kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa, lehernya berisi, bulu jenggotnya lebat, matanya besar, wajahnya tampan, kulitnya agak gelap, postur tubuhnya tegap dan proporsional, bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. 

 Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah saw. seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib ra. bermata besar, berkulit gelap, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh agak pendek, sangat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya. 

 Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat korban tak berkutik. 

Tadi adalah sifat-sifat fisiknya, sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan. Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.

Sifat dan Keutamaan Ali bin Abi Tholib ra

Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam hal yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at. Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala udara dingin menghempas. 

 Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia menempatkan hal pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan. 

 Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. 

 Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab. 

 Ia sangat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Ali sangat berbuat baik kepada kerabatnya dan amat mementingkan istrinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya. 

 Ali bin Abi Thalib ra. berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi. 

 Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke-2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun. 

 Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi Muhammad SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi Muhammad saw. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani, atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau. 

 Didikan langsung dari Nabi Muhammad saw kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir atau syariah dan bathin atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan cerdas. Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali bin Abi Thalib ra. dinikahkan Nabi Muhammad saw dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi Muhammad saw menimbang Ali bin Abi Thalib ra. yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu percaya kenabian Muhammad saw (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain. 
Ketika Muhammad saw menemukan Ali bin Abi Thalib ra. menantunya, ternyata Ali bin Abi Thalib ra. sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Nabi Muhammad saw pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali bin Abi Thalib ra. sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." "Turab" yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Keberanian Ali bin Abi Thalib ra

 Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi Muhammad saw. Ali bin Abi Thalib ra. bersedia tidur di kamar Nabi Muhammad saw untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi Muhammad saw. Beliau tidur menampakkan efek Nabi yang tidur hingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali bin Abi Thalib ra. yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar ra. 

 Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali bin Abi Thalib ra. masih dalam perselisihan, diperkirakan sekitar 36 musuh tewas diujung pedang Ali, dan semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun. 

 Dalam perang Uhud, Ali berduel dengan 29 musuh dan semua musuhnya itu pun tewas menemui ajal di ujung pedangnya. "Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abi Thalib" Demikianlah slogan yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin saat usai perang Uhud yang amat dahsyat itu tengah berlangsung. 

 Dalam perang tersebut, Ali bin Abi Thalib ra. memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan Islam yang gagah perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang memiliki keterampilan memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian belakangnya. Ketika di tanya, "Mengapa baju besimu itu tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?" Maka Ali bin Abi Thalib ra. akan menjawabnya dengan mudah, "Kalau seandainya aku menghadapi musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa." 

 Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ra. ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi Muhammad saw bersabda: "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya". 

 Dan keesokkan harinya Rasulullah saw ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan itu kepada Ali bin Abi Thalib ra. yang sedang menderita penyakit mata. Kemudian Rasulullah saw meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit sampai sembuh seraya berkata, "Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga Allah membukakan pintu kemenangan untuk kaum muslimin." 

 Lalu Ali bin Abi Thalib ra. memimpin tim dan memusatkan pasukannya di sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum muslimin dengan orang-orang yahudi di sana. 

 Ali bin Abi Thalib ra. memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari kelebatan pedang yang di pegang Ali bin Abi Thalib ra. Akan tetapi seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat di tangkis serangan itu dengan tamengnya, sampai terjatuh tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan. 

 Abu Rofi' seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan, "Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abi Thalib ra. mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah tameng-nya terjatuh dari tangannya." Kemudian setelah perang usai, ada delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri, yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena terlalu berat. 

Ali bin Abi Thalib ra. yang mendapat kehormatan itu mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian. Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi muhammad saw untuk menjaga kota Madinah.

Menjadi Khalifah ke Empat

Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan ra. mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak memiliki pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib ra. sebagai khalifah, waktu itu Ali bin Abi Thalib ra. berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam ra. dan Thalhah bin Ubaidillah ra. memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali bin Abi Thalib ra. satu-satunya Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda. 

 Ketika Ali bin Abi Thalib ra. di angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan ra., maka ia tidak pernah melakukan kecurangan atau penyelewengan dalam pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi atau memakan uang rakyat yang ada di "baitul maal." Namun Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri atau menjual harta benda miliknya sendiri untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. 

 Bahkan diceritakan bahwa Ia pernah pergi ke pasar untuk menawarkan pedangnya kepada orang-orang yang berada di sana sambil berkata, "Apakah di antara kalian yang akan membeli pedangku ini, karena hari ini aku sedang tidak memiliki uang?" Kemudian orang-orang balik bertanya, "Bukankah Anda seorang Khalifah yang memiliki uang banyak ya Amirul Mukminin?" Lalu Ali pun menjawab, "Kalau seandainya aku memiliki uang empat dirham saja, tentu aku tidak akan menjual pedang kesayanganku ini." 

 Pernah suatu ketika Ali bin Abi Thalib ra. tengah menangis di mihrab Masjid Nabawi seraya berkata, "Wahai dunia, janganlah engkau bisa memperdayai-ku, tapi perdaya-lah orang-orang selain-ku. Sungguh aku telah menceraikanmu dari diriku dan jangan engkau kembali kepadaku!" 

 Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan ra. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Perang Jamal, 20.000 pasukan pimpinan Ali bin Abi Thalib ra. melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam ra., Thalhah bin Ubaidillah ra., dan Ummul mu'minin Aisyah rha. binti Abu Bakar, perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali bin Abi Thalib ra. 

 Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan ra ra yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad saw. ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. 

 Ditambah lagi dengan terjadinya "perang Shiffin" yaitu perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra. melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang didalamnya terjadi peristiwa "Tahkim" hal ini menimbulkan konflik yang parah, hingga memecah belah umat Islam menjadi berfirqah-firqah. 
Ali bin Abi Thalib ra., seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali bin Abi Thalib ra. dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Readmore → Ali bin Abi Tholib ra

Bolehkah Mengucap Selamat Natal?

Di bulan Desember ini seperti tahun-tahun sebelumnya dan sepanjang tahun, selalu muncul pertanyaan yang ditujukan kepada saya, tentang boleh tidaknya mengucapkan 'Selamat Natal'. Jawaban saya cukup singkat: TIDAK!

Sebagian memberikan alasan bahwa mereka masih terikat pada pekerjaan yang dalam posisi sulit mengelak untuk mengucap 'Selamat Natal' pada relasi, customer, bos, atau atasan. Sebagian yang lain beralasan karena untuk menjaga hubungan baik, kekerabatan, kekeluargaan dengan saudara, ipar, orang tua, mertua ataupun tetangga.


Bahkan ada yang berdalih, rekan kerja suaminya, tetangga atau kerabatnya yang beragama Kristen, selalu hadir saat Idul Fitri, memberikan selamat dan bahkan ikut meramaikan perayaan Idhul Fitri di rumah. Maka, 'tidak enak' rasanya kalau harus cuek kala mereka sedang merayakan Natal. Dan seringkali 'toleransi' dijadikan dalih untuk menempatkan Muslim pada posisi sulit sehingga terjebak untuk berpartisipasi dalam kegiatan Natal.

Dan jawaban saya tetap tidak pernah berubah, cukup singkat, TIDAK BOLEH!. Apapun alasan, kita tidak boleh mengucapkan 'Selamat Natal' dalam apapun kondisinya.

Kali ini kita tidak membahas tentang Natal dari sudut sejarah. Karena insyaAllah kita sudah mengetahui semua, bagaimana sejarah Natal dan pengaruh budaya pagan Romawi yang kental mewarnai ritual 25 Desember ini. Namun kita akan membahas Natal dari sisi ibadah dan dampaknya pada aqidah.

Hakekat Natal
Natal adalah sebuah peringatan terhadap lahirnya Yesus (Isa as) sebagai Tuhan. Apakah benar Yesus dilahirkan pada 25 Desember? Tidak juga. Alquran menginfor-masikan bahwa Isa as lahir saat pohon kurma sedang berbuah lebat hingga buah-buahnya jatuh berguguran. Dan ini mustahil terjadi pada bulan Desember.

Namun yang penting ditekankan disini bahwa Natal adalah peringatan terhadap hari lahirnya/hadirnya Yesus sebagai Tuhan. Yang perlu digarisbawahi adalah kalimat, 'Yesus sebagai Tuhan'. Sehingga, peringatan Natal ini sesungguhnya adalah sebuah ibadah. Sebuah ibadah inti dalam agama Kristen. Karena tanpa peringatan 25 Desember (lahirnya Tuhan) maka eksistensi agama Kristen pun tidak ada.

Natal adalah ibadah yang masuk dalam wilayah aqidah. Karena di sinilah mula eksistensi ketuhanan agama lain (Kristen). Natal adalah salah satu inti iman Kristen.

Idul Fitri
Berbeda dengan Natal. Idhul Fitri adalah sebuah perayaan Muslim setelah melakukan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Idul Fitri diisi dengan acara silaturahim, maaf memaafkan antara keluarga, tetangga, kerabat dekat maupun jauh, relasi di kantor, dsb. Perayaan ini memasuki wilayah hablu-minannas.

Konsistensi Menjaga Aqidah
Ketika seorang Kristen datang pada saat Idul Fitri dan mengucapkan selamat Idul fitri atau bahan ikutan mengucap 'mohon maaf lahir bathin', sesungguhnya tidak ada pelanggaran aqidah/iman yang dilakukan oleh orang Kristen tersebut terhadap agamanya. Mereka sangat menyadari hal ini. Jadi jangan heran ketika mereka sangat antusias ikut serta dalam perayaan Idhul Fitri. Karena tidak ada pelanggaran apapun dalam iman mereka. Tapi justru ini menjadi pintu masuk untuk menunjukkan bahwa mereka sangat toleran terhadap umat Islam dan secara tidak langsung juga menuntut agar umat Islampun toleran terhadap mereka dan agar Muslim tidak menolak ketika mereka mengajak untuk berpartisipasi dalam Natal. Ini tidak fair!

Tapi coba perhatikan, adakah mereka mau mengucapkan selamat kita Muslim merayakan Idhul Adha (Idul Qurban)? Tentu tidak pernah dan mereka tidak akan mau. Karena ketika seorang Kristen mengucapkan Idhul Adha kepada Muslim, maka ia sudah melanggar iman mereka. Mengapa demikian?

Idhul Adha
Bagi umat Islam, Idhul Adha adalah peringatan yang merefleksikan peristiwa keikhlasan dan loyalitas Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT dengan mengikhlaskan putranya Nabi Ismail AS untuk disembelih.

Namun dalam keimanan Kristen, putra tunggal Nabi Ibrahim AS adalah Ishak AS. Bibel tidak mengakui Nabi Ismail sebagai putra nabi Ibrahim. Iman Kristen sebagai mana yang tertulis dalam Bibel menyatakan bahwa putra yang akan disembelih oleh Nabi Ibrahim adalah Ishak, bukan Ismail.

Kejadian 22:2
Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu."
Bahkan lebih jauh, Nabi Ismail AS yang dihormati dalam Islam sebagaimana nabi-nabi yang lainnya, namun dalam Kristen Nabi Ismail dikatakan sebagai seorang laki-laki yang perilakunya seperti keledai liar.

Kejadian 16:11-12
Selanjutnya kata Malaikat TUHAN itu kepadanya: "Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael, sebab TUHAN telah mendengar tentang penindasan atasmu itu.

Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya."

Sehingga, jika seorang Kristen meng-ucapkan selamat Idhul Adha berarti ia telah mengingkari ayat-ayat dalam kitab suci mereka. Menodai keimanan mereka terhadap firman Tuhannya.

Jika ucapan Idhul Fitri tidak membawa dampak apa-apa bagi umat Kristen, tapi justru menguntungkan mereka. Namun ucapan Idhul Adha justru akan sangat membahayakan iman/aqidah mereka. Dan hingga saat ini mereka sangat konsisten mempertahankan iman mereka.

Pertanyaannya, mengapa kita sebagai Muslim harus mempertaruhkan atau bahkan menggadaikan aqidah kita dengan mengucap 'Selamat Natal' atas dalih toleransi? Ini bukan toleransi, tapi pemerkosaan aqidah.

by Hj Irena Handono
Readmore → Bolehkah Mengucap Selamat Natal?
Back to top