Sebagian orang
membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama kanjeng Muhammad
Rasulullah SAW dengan alasan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang menganjurkan
kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau SAW. Memang ada golongan
yang mudah sekali membid’ahkan sesuatu
amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk
ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulullah SAW yang berkaitan dengan
kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman
Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa
Ta’dzimul-Maqam Fish-Shalati Was-Salam ‘an Sayyidil-Anam dengan tegas
mengatakan : Menyebut nama Rasulullah SAW. dengan tambahan kata Sayyidina
(junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang
mencintai beliau SAW. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan
ketinggian kedudukan beliau. Allah SWT memerintahkan ummat Islam supaya
menjunjung tinggi martabat Rasulullah SAW, menghormati dan memuliakan beliau,
bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara
sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut
tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah SAW.
Allah SWT.berfirman :
لَّا تَجۡعَلُواْ دُعَآءَ
ٱلرَّسُولِ بَيۡنَكُمۡ كَدُعَآءِ بَعۡضِكُم بَعۡضٗاۚ
“Janganlah
kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang
diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai
ayat diatas ini, Ash-Shawi mengatakan : Makna ayat itu ialah janganlah kalian
memanggil atau menyebut nama Rasulullah SAW. cukup dengan nama beliau saja,
seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim.
Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan
menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat
tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau SAW.tanpa
menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau SAW., baik dikala
beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah SWT.
Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut
berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian
bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir,
dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan
Rasulullah SAW. Demikian pula dalam tafsir Jalalayn.
Dalam kitab Al-Iklil
Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan : Dengan turunnya ayat
tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau Muhammad SAW atau memanggil
beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan
Ya Rasulallah atau Ya Nabiyallah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan
demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari
li syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas,
dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang
diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin
memanggil Rasulullah SAW. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim
dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT. melarang mereka
menyebut atau memanggil Rasulullah SAW. dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka
kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya
Nabiyallah.
Hampir seluruh ulama
Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama
mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan
sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut
diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak
terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain
firman Allah SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4
dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah SWT. memuji kaum muslimin yang
bersikap hormat dan memuliakan Rasulullah SAW, bahkan menyebut mereka sebagai
orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah SWT mengajarkan kepada kita tatakrama
yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya
dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul
atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah SWT
tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah SWT mengangkat dan
menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau
junjungan kita Muhammad Rasulullah SAW. Menyebut nama beliau SAW tanpa diawali
dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan
pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Ali-‘Imran
ayat 39 Allah SWT menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
فَنَادَتۡهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٞ
يُصَلِّي فِي ٱلۡمِحۡرَابِ أَنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحۡيَىٰ مُصَدِّقَۢا
بِكَلِمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَسَيِّدٗا وَحَصُورٗا وَنَبِيّٗا مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
٣٩
“…Kemudian Malaikat
(Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di
mihrab (katanya): Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan
kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari)
Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa
nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun
menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat
(jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka
dilukiskan Allah SWT dalam firman-Nya :
وَقَالُواْ رَبَّنَآ
إِنَّآ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِيلَا۠ ٦٧
“Dan
mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka
menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat
disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT dalam
surat Yusuf ayat 25 :
وَٱسۡتَبَقَا ٱلۡبَابَ وَقَدَّتۡ قَمِيصَهُۥ مِن
دُبُرٖ وَأَلۡفَيَا سَيِّدَهَا لَدَا ٱلۡبَابِۚ قَالَتۡ مَا جَزَآءُ مَنۡ أَرَادَ
بِأَهۡلِكَ سُوٓءًا إِلَّآ أَن يُسۡجَنَ أَوۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ ٢٥
“Wanita itu menarik
qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki
sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami
ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula
yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat
didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan ayat
41 Allah berfirman :
يَوۡمَ لَا يُغۡنِي مَوۡلًى
عَن مَّوۡلٗى شَيۡٔٗا وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ ٤١
“…Hari
(kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun
kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah
SWT dalam Al-Maidah ayat 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah SWT.,
Rasul dan orang yang beriman.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ
وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ ٥٥
"
... Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah)
Jadi kalau kata sayyid
itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan
untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang
semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorang, alasan apa yang dapat digunakan
untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Demikian pula soal
penggunaan kata maula. Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang
Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang
menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para presiden, para
raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak
dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa
sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama
Rasulullah SAW itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat
beliau SAW. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat
beliau SAW dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita
ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulullah SAW. tanpa
diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu
‘alaihi wasallam (SAW.). Menyebut nama Rasulullah dengan cara demikian
menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara
demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum
orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh
kita tiru.
Banyak hadits-hadits
shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah
sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah
sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak
Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya
dan paling mulia kedudukannya disisi Allah (yaitu junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.) tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim
terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah SAW. memberitahu para sahabatnya,
bahwa pada hari kiamat kelak Allah SWT akan menggugat hamba-hambaNya :
“Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usayyiduka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa
Allah SWT telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap
manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah
manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia
dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah SAW tidak
boleh disebutsayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang
membantah dan jawabannya :
- Ada sementara orang
terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii
fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad SAW.) sayyid didalam
sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah SAW.
untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa (atau memang tidak mengerti) bahwa
didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada
kemungkinan sama sekali Rasulullah SAW mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab
gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat
dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk
lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan
beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi,
atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab
tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz
As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits
itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli,
Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli
Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan
: “Hadits itu sama sekali tidak benar”.
Selain hadits palsu
diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang
berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku
(Nabi Muhammad SAW.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful
Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengatakan : “Itu bathil !”.
Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah
menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau
ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid
kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’
(rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan
oleh Rasulullah SAW. atau sebagai hadits beliau SAW, jelas hal itu suatu
pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan
tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah SAW.bersabda
: “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti
pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling
sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi
ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra
mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling
mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. adalah
seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulullah
SAW. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak
Adam pada hari kiamat”. Sumber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad
bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi
makna oleh Rasulullah SAW sendiri dengan penjelasannya: ‘Pada hari kiamat, Adam
dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain
mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “Aku sayyid
dua alam”.
– Riwayat yang berasal
dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah
mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat
mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang
diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Aku
Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang
dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah SAW. diawali
dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.
Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra.
yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat
Rasulullah SAW. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SAW. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah !
Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab :
Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau
kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini
menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah SAW. lebih suka kalau para sahabatnya
menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan
perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan
dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut
diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah SAW adalah sayyid anak Adam,
sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa.
Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali
penyebutan nama Rasulullah SAW. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap
muslim yang mencintai beliau SAW.
– Demikian pula soal
kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i
dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah SAW. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa
‘aliyyun maulahu” artinya :“Barangsiapa aku menjadi maula-nya(pemimpinnya) ‘Ali
(bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya
diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah SAW. Adalah sayyidina
dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya),
semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. pernah
berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa
tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil
ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum
mu’minin (kaum orang-orang yang beriman)atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim
hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata
nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya :“Hai Fathimah,
apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya
orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah SAW. berkata kepada puterinya (Siti
Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an
takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya
: “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau
sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya
terhadap dua orang cucu Rasulullah SAW. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu
‘anhuma.Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad
shohih bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang
sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan
hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulullah SAW. Siti Fathimah
Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang
cucu Rasulullah SAW. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin
Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulullah SAW. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani
Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulullah SAW.
mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang
berkendaraan keledai, saat itu Rasulullah SAW. berkata kepada orang-orang yang
hadir: “Quumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah
menghormati sayyid(pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah SAW. menyuruh
mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
Sementara fihak
menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya,
karena dalam keadaan sakit, sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu
Rasulullah SAW tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad,
melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya–
Rasulullah SAW. melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau SAW,
tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati
Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat
memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulullah SAW dengan larangan dan perintahnya
mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu, kakak dan guru yang secara
terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak,
si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya,
kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulullah SAW. sekalipun beliau menyadari
kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT, beliau tidak
menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi
kita, ummat Rasulullah SAW, harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan
mengagungkan beliau SAW.
Allah SWT. berfirman
dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad SAW) lebih
utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra.
menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci
diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa
Rasulullah SAW. lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau
wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan
semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan
sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah SWT memberi
hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra.
mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya : “Apabila kalian
mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan
sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada
beliau SAW, karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu,
rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan
Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga
menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda
saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim
mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam
menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan
“Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab:
‘Aku mendengar sendiri Rasulullah SAW. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam
bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal shalawat Nabi mewanti-wanti
pembacanya sebagai berikut: “Hendaknya anda berhati-hati jangan sampai
meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu
terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan
masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca
shalawat pada Rasulullah SAW. yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah
sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk
mengawali penyebutan nama Rasulullah SAW. Setelah orang mengetahui banyak
hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan
sayyid,apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina
dalam menyebut nama beliau SAW.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang
demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah SAW. sebagai
Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu Rabbil-‘alamin
(Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya
orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama
beliau SAW? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar
ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta
juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
Berbagai sumber