KH Abdul Hamid Pasuruan

KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.

Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. 

Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan 

Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.


“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. 

Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. 

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. 

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. 

“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. 

Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur. 

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf. 

Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. 

Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. 

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. 

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. 

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. 

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. 

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. 

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. 


Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. 

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. 

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. 

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. 

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi. 

Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. 

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. 

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. 

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. 

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. 

Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dan sarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat. 

Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya, “Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid.” Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang - biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat. 

Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita mengenai yang menjadi masalahnya. “Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah,” desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya. 

Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja. 

Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan. 

Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan Kiai Hamid. 

Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan nama Mu’thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan Hamid saja. “Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah),” katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
Readmore → KH Abdul Hamid Pasuruan

Rahasia Surat Al Kautsar

Surah ini adalah surah yang paling pendek dalam Al Qur'an, hanya mengandungi 3 ayat dan diturunkan di Makkah dan berasal dari sungai di Syurga. Kolam sungai ini diperbuat dari pada batu permata yang indah dan cantik.
.
Rasanya lebih manis dari pada madu, warnanya pula lebih putih dari pada susu dan lebih wangi dari pada kasturi.
.
Surah ini disifatkan sebagai surah penghibur hati Nabi Muhammad SAW, karena diturunkan ketika baginda bersedih atas kematian 2 orang yang dikasihinya, yaitu anak lelakinya Ibrahim dan bapak saudaranya Abu Thalib.
.
Berbagai khasiat terkandung di dalam surah ini dan boleh kita amalkan, diantaranya ialah :
.
1. Ketika hujan, bacalah surah ini dan berdo'a. Insya Allah, do'a kita dikabulkan oleh Allah SWT.
.
2. Ketika kita kehausan dan tiada air, bacalah surah ini dan gosok di leher. Insya Allah hilangkan rasa dahaga.
.
3. Ketika kita sering sakit mata, seperti berair, gatal, bengkak. Sapukan air tawar yang sudah dibacakan surah ini sebanyak 10x pada mata.
.
4. Ketika rumah dipercayai terkena sihir, bacalah surah ini 10x. Insya Allah, Allah SWT memberi ilham kepada kita dimana letaknya sihir itu.
.
5. Jika kita membaca surah ini 1.000x. Insya Allah rezeki kita akan bertambah.
.
6. Jika kita rajin membaca surah ini. Insya Allah hati kita akan menjadi lembut dan khusyuk ketika menunaikan shalat.
.
7. Jika ada orang teraniaya dan terpenjara, bacalah surah ini sebanyak 71x. Insya Allah, Allah SWT akan memberikan bantuan kepadanya karena dia tidak bersalah tetapi dizhalimi.
.
Rasulallah SAW bersabda : "Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya, maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala." (HR. Al-Bukhari).
.
Subhanallah..
.
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan bermanfaat yang bernilai ibadah lewat tulisan ini dan mengamalkan dalam kehidupan sehari - hari.
.
Aamiin..
Readmore → Rahasia Surat Al Kautsar

Tentang Berkirim Fatihah atau Bacaaan Qur'an Kepada Ahli Kubur

Bertanyalah Dalil Kirim Pahala al-Fatihah Kepada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)!
By : Hanif Luthfi, Lc

Memang ada juga yang nyinyir, ketika membahas sampai tidaknya pahala bacaan al-Qur’an perspektif Imam Syafi’i. Dengan menyebutkan; “katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w. 204 H)?”

Agak susah sebenarnya melacak langsung pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H), tentang bacaan al-Quran yang dihadiahkan pahalanya kepada mayit itu muthlak tidak sampai, maksudnya dengan keadaan apapun. Biasanya kebanyakan mengambil dari pernyataan Ibnu Katsir ad-Dimasyqi (w. 774 H) dalam tafsirnya; Tafsir al-Quran al-Adzim, h. 7/ 465, serta pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H), bahwa yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i adalah tidak sampai.

فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل

Pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan beberapa jamaah adalah tidak sampai (Pahala bacaan al-Qur’an) (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Adzkar, h. 278).

Ada beberapa catatan terkait pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H), yang sering dinukil oleh mereka yang menyatakan tidak sampai ini.

Pertama, pernyataan tak sampainya bacaan al-Quran kepada mayyit dengan keadaan apapun, dari Imam as-Syafi’i ini secara jelas susah dilacak, kalaupun ada ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i.

Terlebih ini adalah pernyataan yang sepotong. Apakah dalam semua keadaan, bacaan al-Qur’an kepada mayyit itu tidak sampai, atau ada syarat khusus dan kriteria tertentu agar bisa bermanfaat kepada mayyit.

Karena Imam as-Syafi’i (w. 204 H) pernah juga menyatakan sendiri dalam kitabnya al-Umm:

وأحب لو قرئ عند القبر، ودعي للميت

Saya menyukai jika dibacakan al-Quran di kuburnya, dan juga didoakan. (Imam Muhammad bin Idris as-Syafi'i w. 204 H, al-Umm, h. 1/ 322)

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H):

قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا

Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295)

Ada hal menarik disini. Jika dikatakan menurut Imam as-Syafi’i (w. 204 H) muthlak tidak sampai dalam keadaan apapun, kenapa Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan mengkhatamkan al-Qur’an kepada mayit setelah di kuburkan? Atau bahasa lainnya, Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan khataman al-Qur’an di kuburan. Perlu dicatat, Imam as-Syafi'i (w. 204 H) tak pernah menyatakan bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayyit itu bid'ah yang sesat. 

Imam as-Syafi'i (w. 204 H) juga tak pernah menyatakan bahwa membaca al-Quran di kuburan itu bid'ah. Beda dengan yang mengaku mengikuti Imam as-Syafi'i (w. 204 H) dalam hal tak sampainya bacaan saja. Tetapi giliran menjelaskan hukum membaca al-Qur'an di kuburan, malah membid'ah-bid'ahkan.

Syeikh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi (w. 311 H) mempunyai kitab khusus terkait membaca al-Quran di kuburan. Kitab itu berjudul: al-Qiraah Inda al-Qubur. 

Beliau menukil pernyataan Imam as-Syafi'i (w. 204 H) dari Hasan bin as-Shabbah az-Za'farani (w. 260 H); salah seorang murid Imam as-Syafi'i (w. 204 H) dan guru dari sekian banyak Muhaddits, seperti Imam al-Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Huzaimah. (ad-Dzahabi w. 748, Siyar A'lam an-Nubala', h. 12/ 262).

Disebutkan dalam kitab al-Qira'ah Inda al-Qubur:

أخبرني روح بن الفرج، قال: سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني، يقول: سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال: لا بأس به

al-Hasan bin as-Shabbah az-Za'farani (w. 260 H) bertanya kepada Imam as-Syafi'i tentang membaca al-Qur'an di kuburan. Beliau menjawab: Iya, tidak apa-apa (Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi w. 311 H, al-Qiraah inda al-Qubur, h. 89)

Kedua, tentu yang lebih paham tentang fiqih Syafi’i adalah para ulama asli madzhab as-Syafi’I, bukan ulama dari non Syafi’iyyah pastinya. Karena sangat rentan mutilasi pernyataan atau kesalahan dalam memahami perkataan.

Syaikh al-Islam Zakaria Al-Anshari as-Syafi’i (w. 926 H) dan Ibnu Hajar Al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H), sebagai ulama dalam madzhab as-Syafi’i menyimpulkan bahwa, maksud bacaan al-Quran itu tidak sampai jika tidak diniatkan atau tidak dibacakan di hadapan si mayit. (lihat: Syaikh al-Islam Zakaria al-Anshori w. 926 H, Fath al-Wahhab, h. 2/ 23, dan Ibnu Hajar Al-Haitami w. 974 H, Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 2/ 27).

Ketiga, ini yang terpenting. Memang masalah ini menjadi perbedaan diantara para ulama sejak dahulu. Hanya saja perbedaan mereka terkait, “Sampai atau tidak”, bukan pada “Boleh atau tidak boleh” atau “Ada tuntunannya atau tidak” atau “Rasulullah melakukannya atau tidak”.

Sebenarnya ikhtilaf ini bisa menjadi mudah, jika masih dalam tataran sampai atau tidak sampai. Bagi yang mengikuti ulama yang menyatakan sampai, ya silahkan dilanjutkan, yang menyatakan tidak sampai ya, sudah tak usah mengamalkan. Simpel kan?

Mengaji Fiqih Hanbali dari Ulama Hanbali

Jika memahami fiqih Syafi’i harusnya dari ulama Syafi’iyyah, tentu hal yang sama juga dalam memahami fiqih Hanbali.

Termasuk jika ada yang nyinyir mengatakan, “Katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w. 204 H)?”, silahkan balas saja; “Katanya ikut madzhab Hanbali, tapi kenapa tak ikut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)?”

Hampir-hampir ulama Hanbali yang muktamad, semuanya menyatakan sampainya kiriman pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit, termasuk Surat al-Fatihah.

Mana dalilnya? Kalau mau tau, silahkan tanya ulama dibawah ini:

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H): Bacalah Surat al-Fatihah Saat ke Kuburan

Abu Bakar Al-Marrudzi al-Hanbali (w. 275 H); salah seorang murid terdekat Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pernah mendengar sendiri Imam Ahmad berkata:

قال المروذي: سمعت أحمد يقول: إذا دخلتم المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب والمعوذتين، وقل هو الله أحد، واجعلوا ثواب ذلك إلى أهل المقابر؛ فإنه يصل إليهم، وكانت هكذا عادة الأنصار في التردد إلى موتاهم؛ يقرءون القرآن.

Saya (al-Marrudzi) pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah Surat al-Fatihah, al-Muawwidzatain dan al-Ikhlas. Lantas jadikanlah pahala bacaan itu untuk ahli kubur, maka hal itu akan sampai ke mereka. Dan inilah kebiasaan kaum Anshar ketika datang ke orang-orang yang telah wafat, mereka membaca al-Qur’an. (Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, Mathalib Ulin Nuha, h. / 935).

Disini ada 2 hal penting: Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).

Kedua, Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan ini perbuatan para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).

Hal itu bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha, karangan Mushtafa bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama madzhab Hanbali kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus sejak tahun 1212 H sampai wafat. Kitab Mathalib Ulin Nuha itu sendiri adalah syarah atau penjelas dari kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/ 234)

Kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf (w. 1033 H) ini juga banyak mengambil dari 2 kitab ulama Hanbali sebelumnya; al-Iqna’ li Thalib al-Intiqa’ karya Musa bin Ahmad Abu an-Naja al-Hajawi (w. 968 H) dan Muntaha al-Iradat karya Taqiyuddin Ibn an-Najjar al-Futuhi (w. 972 H). Artinya Kitab Mathalib Ulin Nuha diatas, secara sanad keilmuan fiqih Hanbali, bisa dipertanggungjawabkan silsilah sanadnya.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H): Yang Benar Adalah Semua Pahalanya Sampai, Bahkan Termasuk Shalat

Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) memang disatu sisi menjadi panutan utama beberapa kalangan yang membid’ahkan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an.

Hanya dalam kaitan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an ini, Fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tak begitu dihiraukan.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa juz 24 halaman 367 :

وأما القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره. وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة والقراءة. والصواب أن الجميع يصل إليه

Adapun bacaan Al-Quran, shodaqoh dan ibadah lainnya termasuk perbuatan yang baik dan tidak ada pertentangan dikalangan ulama ahli sunnah wal jamaah bahwa sampainya pahala ibadah maliyah seperti shodaqoh dan membebaskan budak. Begitu juga dengan doa, istighfar, sholat dan doa di kuburan. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala ibadah badaniyah seperti puasa, sholat dan bacaan. Pendapat yang benar adalah semua amal ibadah itu sampai kepada mayit.

Serunya dalam fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) ini, beliau menyebut bahwa baik puasa, bacaan al-Qur’an bahkan shalat sekalipun itu akan sampai transferan pahalanya kepada mayyit.

Lah, kira-kira bagaimana teknisnya mengirim pahala shalat kepada mayyit, menurut fatwa Ibnu Taimiyyah ini ya? Kirim pahala shalat untuk mayyit, bid’ah apa lagi ini?

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H): Perkataan Bahwa Tak Ada Tuntunannya Dari Ulama Salaf, Itu Adalah Perkataan Dari Orang Yang Tak Ada Ilmunya

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H) sebagai murid Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) bahkan menjelaskan panjang lebar masalah ini. So, jika ingin tahu dalilnya, baca saja kitab ar-Ruh. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyebut:

وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك بين وصول ثواب القراءة والذكر، والقائل أن أحدا من السلف لم يفعل ذلك قائل مالا علم له به

Apa bedanya sampainya pahala puasa dengan bacaan al-Qur’an dan dzikir. Orang yang mengatakan bahwa ulama salaf (bukan salafi) tak pernah melakukan hal itu, berarti orang itu tak ada ilmunya (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, ar-Ruh, h. 143)

Agak pedas memang pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) ini. Kata beliau, justru para salaf-lah yang melakukan hal itu. Mereka yang mengatakan para salaf tak pernah melakukannya, berarti perkataan itu muncul dari orang yang tak ada ilmunya.

Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H): Kaum Muslimin di Tiap Waktu dan Tempat, Mereka Berkumpul Untuk Menghadiahkan Bacaan al-Qur’an Untuk Mayit

Ulama Hanbali yang lebih senior dari Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) adalah Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H).

Dengan jelas beliau menyebut bahwa, di tiap waktu dan di seluruh penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah wafat, tanpa ada yang mengingkarinya. Dan itu adalah ijma’ kaum muslimin.

ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير

Ijma’ kaum muslimin menyatakan bahwa di tiap waktu dan di seluruh penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah wafat, tanpa ada yang mengingkarinya. (Ibnu Quddamah al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 2/ 423)

Tentu pernyataan yang serius jika hal ini telah menjadi ijma’ kaum muslimin, dimana hampir semua zaman dan setiap tempat, para kaum muslimin melaksanakannya.

Bahkan lebih dari itu, mereka melakukannya dengan berkumpul berjamaah, bareng-bareng membaca al-Qur’an untuk dikirimkan kepada mayyit, persis seperti yang ada di negeri kita Indonesia ini.

Paling tidak, itulah yang dialami oleh Ibnu Quddamah al-Maqdisi (w. 620 H) dan kaum muslimin di Damaskus, sekitar 8 abad yang lalu di hampir seantero negeri saat itu. Sekali lagi, penyebutan kata ijma' ini keluar dari Imam Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H).

Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)

Dalam hal ini, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H) lebih memilih bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh.

القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبا أو غير قريب. والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت

Pendapat kedua, adalah mayyit bisa mendapat manfaat dari apa yang dikerjakan orang yang masih hidup. Hukumnya boleh, orang membaca al-Quran lantas berkata; “Saya niatkan pahala ini untuk fulan atau fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan. Ini adalah pendapat yang rajih. (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin w. 1421 H, Majmu’ Fatawa wa Rasail, h. 7/ 159)

Mari Ittiba’ Rasul!

Pernyataan ini benar, tapi tak jarang disalahgunakan. Suatu amalan yang pernah dikerjakan Nabi atau belum pernah itu, bukan standar satu-satunya sebuah amalan dikatakan boleh atau tidak boleh.

Justru kesalahan logika yang fatal, jika membuat sebuah kaidah ushul fiqih baru bahwa, amalan yang tak pernah dijalankan Nabi pasti semuanya bid’ah yang haram.

Tentu jika orang awam yang ditanya, “Memang Nabi pernah melakukannya?” pasti akan melongo, tak bisa jawab. Seolah dalil satu-satunya adalah ‘pernah dijalankan Nabi’. Padahal ada hal yang penting untuk dibahas terlebih dahulu, yaitu mendefiniskan apa itu dalil, berikut kriteria dan macam-macam dalil itu.

Kembali kepada judul tulisan, jika ingin tahu dalil sampai dan bolehnya bacaan al-Quran kepada orang yang telah wafat, silahkan digali dari ulama diatas.

Jika menganggap bahwa perbuatan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an itu bid’ah, itu sama artinya menganggap Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) beserta ulama hanbali lainnya menganjurkan kebid’ahan.

Jika menganggap ulama salaf tak pernah menghadiahkan pahala bacaan al-Quran, sepertinya harus sekali-kali piknik ke kitabnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H).

Jika menanggap bahwa berkumpul untuk bersama-sama membaca al-Qur’an, lalu pahalanya dikirimkan kepada mayyit hanya budaya Nusantara yang diwarisi dari Agama Hindu, sepertinya harus piknik ke kitabnya Ibnu Quddamah (w. 620 H).

Yuk kita piknik ke luasnya samudra ilmu para ulama! Dari situ kita ittiba' Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam.

Wallahua'lam bisshawab.
Readmore → Tentang Berkirim Fatihah atau Bacaaan Qur'an Kepada Ahli Kubur

Keistimewaan Al Qur'an

Sejarah membuktikan bahwa betapa banyaknya agama-agama yang berkembang di dunia ini, yang masing-masing mempunyai kitab suci sebagai pedoman hidup penganutnya. Namun, tidak ada satupun yang mampu memberi bimbingan kepada penganutnya, dan kepada umat manusia pada umumnya. Sedangkan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah sebelum Al Quran adalah khusus satu golongan saja/kaum tertentu. Di samping itu, sekarang banyak mengalami perubahan-perubahan sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi untuk menjamin keselamatan umat.

Berdasarkan data dan fakta yang ada dan telah teruji di dalam kehidupan umat manusia, maka tidak berlebihan kiranya jika kitab suci umat Islam ini memiliki berbagai keistimewaan yang tidak bisa ditandingi oleh kitab manapun. Diantaranya adalah sebagaimana kami paparkan dibawah ini :

1.  Terpelihara Keasliannya

Al Quran adalah satu-satunya kitab di dunia yang sempurna dan terpelihara keasliannya, karena Allah sendirilah yang memeliharnya, sebagaimana firmanNya: 

 إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩ 

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (al-Hijr : 9)

Al Quran adalah satu-satunya kitab yang menantang manusia kafir untuk membuat yang semisalnya. Di dalam al Quran ada empat kali dan tahapan penantangan kepada manusia, yaitu :

1. Allah menantang untuk membuat yang seperti al quran, sebagaimana tertera dalam surat Ath Thur 33-34 :

أَمۡ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُۥۚ بَل لَّا يُؤۡمِنُونَ ٣٣ فَلۡيَأۡتُواْ بِحَدِيثٖ مِّثۡلِهِۦٓ إِن كَانُواْ صَٰدِقِينَ ٣٤ 

"Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar." (QS Ath Thuur ayat 33-34)

2. Allah merendahkan tantanganNya, yaitu hanya beberapa surat saja, tertera dalam Surat Hud 13 :

أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِعَشۡرِ سُوَرٖ مِّثۡلِهِۦ مُفۡتَرَيَٰتٖ وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ١٣ 

"Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar" (QS Hud ayat 13)

3. Allah menantang yang ketiga kalinya,yang lebih ringan dari sebelumnya.Dengan hanya membuat satu surat saja. Hal ini tertera dalam Al Qur’an surat  Yunus 38

أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣٨ [سورة يونس,٣٨]

"Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya". Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar" [QS Yunus ayat 38]

4. Dan tantangan yang inipun,mereka tak sanggup memenuhinya.Maka Allah menantang dengan tantangan yang terakhir yang paling ringan.Yaitu,mendatangkan semisal ayat-ayat Al Qur’an. Hal ini tercantum dalam surat Al Baqoroh ayat 23.

وَإِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلَىٰ عَبۡدِنَا فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّن مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٢٣ 

"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS Al Baqoroh 23)


Upaya-upaya untuk memalsukan Al Quran ataupun membuat yang semisal dengan Al Quran telah dilakukan oleh orang-orang kafir sejak zaman dahulu, namun usaha-usaha itu tak pernah berhasil.

Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang ingin menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat Al-‘Ash turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya.

Ketika Musailamah Al-Kadzab berjumpa dengan ‘Amr bin Ash, Musailamah bertanya : “Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.” “Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash.

Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?” Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. (Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.)” Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi , engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”

Di saat yang lain Musailamah Al Kadzab mencoba meniru surat Al Fiil dengan surat yang dikarangnya “Alfiil, maal fiil, wa maa adrakamaal fiil, lahu dzanabun wabiilun, wa khurthuumun thawiil” yang artinya: “Gajah. Tahukah anda gajah?Apakah gajah itu?Dan tahukah anda apakah gajah itu? Ia berekor pendek & berbelalai panjang”. Lucu sekali bukan?

Di era modern ini upaya pemalsuan Al Quran juga dilakukan dengan lebih gencar, salah satunya yaitu penerbita Al Quran Palsu pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Penerbit asal Amerika, Omega 2001 dan One Press dengan judul  hard cover “Furqanul Haq” dalam huruf Arab dan “True Furqan” dalam huruf Latin. Dan usaha ini pun gagal total

 2.  Dihafalkan Banyak Manusia

Al Quran satu-satunya kitab suci yang dihafalkan banyak manusia. Al Quran yang jumlah halamannya mencapai 600 halaman mampu dihafal dengan tepat dan akurat, sampai huruf per huruf bahkan panjang pendeknya. Al Quran bisa dihafalkan oleh orang yang tidak mampu berbahasa arab sekalipun, sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada kitab-kitab lainnya.

Al Quran mampu dihafalkan oleh anak-anak yang masih sangat belia, Ibnu Sina Hafal Al-Quran umur 5 tahun, Ibnu Khaldun Hafal Al-Quran usia 7 tahun, Imam Syafi’I Hafal Al-Quran ketika usia 7 tahun,  Imam Ath-Thabari hafal Al-Quran pada usia 7 tahun, As-Suyuthi hafal al-Qur’an sebelum umur 8 tahun, Ibnu Hajar al-Atsqalani hafal al-Qur’an usia 9 tahun, Ibnu Qudamah Hafal Al-Quran usia 10 tahun.

Di parlemen Mesir sekarang ada 140 anggotanya hafal al-Qur’an 30 juz dan ada 180 orang yang hafal lebih 15 juz Al Qur’an. Di jalur Gaza Palestina yang sedang mengalami penjajahan, hampir setiap tahun mewisuda ribuan pengafal Al Quran. Di Indonesia kita bisa melihat keluarga Ustadz Mutaminul Ula mantan anggota DPR periode 2004-2009 yang 10 orang putra-putrinya menjadi penghafal Al Quran, sebagaimana dikisahkan dalam buku “Sepuluh Bersaudara Bintang Al Quran”

Sungguh benar firman Allah “Dan sungguh telah kami mudahkan al-Qur’an untuk diingat, apakah ada yang mau mengingatnya?” (al-Qamar: 18). Dan juga firmannya “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran”. [al-Qamar: 32]

3.  Sesuai Dengan Sains Modern

Al Quran terbukti sesuai dengan sains modern. Banyak fakta-fakta ilmiah yang baru terbongkar pada era modern ini dan kesemuanya ternyata telah disebutkan dalam Al Quran lebih dari 14 abad silam. Sebagai contohnyabisa kita baca dari tulisan yang berjudul “Tinjauan tentang embriologi manusia dalam Al Quran dan Hadis” karya Prof. Keith L. Moore, seorang professor anatomi dari universitas Toronto, Kanada, 1982. Tulisan tersebut menguraikan bagaimana Al Quran mampu menggambarkan detail proses pembentukan embrio dengan sangat tepat, disaat tekhnologi di masa itu sama sekali belum menjangkaunya.

Contoh bukti kesesuaian Al Quran dengan sains modern lainnya yaitu tentang peristiwa digantinya kulit manusia di neraka. Kulit adalah pusat kepekaan rasa panas. Maka, jika kulit telah terbakar api seluruhnya, maka akan lenyaplah kepekaannya. Karena itulah maka Allah akan menghukum orang-orang yang tidak percaya akan Hari Pembalasan dengan mengembalikan kulit mereka waktu demi waktu, sebagaimana firmanNya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa’ (4) :56). Dan ayat inilah yang telah mendorong Dr. Tagata Tejasen Ketua Departemen Anatomi di Universitas Chiang Mai, Thailand untuk bersyahadat.

Contoh lain lagi yaitu proses pembentukan hujan, sebagaimana Allah firmankan “Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira” (Al Qur’an, 30:48). Jumlah air hujan yang turun ternyata juga sangat terukur, hal ini sebagaimana firmannya “Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (Al Qur’an, 43:11)

Banyak sekali bukti-bukti lainnya yang menunjukan kesesuaian Al Quran dengan sains modern, bisa dilihat pada tulisan DR. Maurice Bucaile tentang “the bible, the quran and sience” atau kumpulan karya-karya Harun Yahya yang sangat fenomenal.

4.   Gaya Bahasa Sastra Tinggi

Al Quran diturunkan di tanah Arab yang pada saat itu sangat menghargai sastra. Al Quran turun dengan gaya bahasa yang tinggi yang tidak mampu ditandingi siapapun. Dan hal ini  pun di akui oleh musuh-musuh Islam saat itu, seperti ucapan Al Walid bin Mughirah salah seorang tokoh pembesar Quraisy: “Demi Allah, ini bukanlah syair dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia (al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak yang melebihinya”. [Lihat Ibnu Katsir juz 4 hal 443].

Atau dalam redaksi lain sebagaimana ditulis Syaikh Syafiurrahman Al Mubarakfuri dalam kitab Sirohnya “Demi Allah! Sesungguhnya ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan indah. Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah kalian menuduhnya dengan salah satu dari hal tersebut melainkan akan diketahui kebatilannya.

5.  Menjadi Obat Baik Penyakit Fisik Maupun Non Fisik

“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Israa’:82)

Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma’ad mengatakan: “Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsis-ten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurna-kan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi. Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik  penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang mem-bimbing kepada obat dan sebab (kesem-buhan) nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)

Al-Imam Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, beliau berkata: “Sekelompok shahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka. Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan (kalajengking).

Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikitpun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’
Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu?

Sebagian shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’Mereka pun setuju untuk memberi upah berupa 3 ekor kambing. Maka dia (salah seorang shahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.

Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati. Sebagian shahabat berkata: ‘Bagilah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita.’ Merekapun menghadap Rasulullah kemudian melaporkan hal tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’ Lalu beliau berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau tertawa.”

6.  Al-Qur’an Mempunyai Pengaruh yang Kuat Terhadap Jiwa Manusia dan Jin

Al Quran mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jiwa manusia dan jin, banyak kisah dimasa lalau maupun di masa kini yang telah membuktikan kutanya pengaruh Al Quran pada jiwa manusia.
Pada suatu hari di bulan Ramadhan Rosulullah mendatangi masjidil Haram, dimana saat itu kaum muslimin dan musyrikin sedang berkumpul disana. Secara tiba-tiba Rosulullah membacakan surat An Najm, semuanya mendengarkan dengan seksama dan ketika sampai pada ayat 62 semua yang hadir disitu serempak bersujud pada Allah. Tidak ada satupun yang mampu menahan dirinya untuk tidak bersujud.

Kisah masuk Islamnya Umar bin Khotob juga dimulai dari sentuhan Al Quran kedalam jiwanya. Sebagaimana dikisahkan bahwa pada suatu malam Umar bin Khotob bersembunyi dibalik tirai kabah dan mendengarkan Rosulullah membacakan surat Al Haqqah dan mulai malam itulah benih Islam mulai tertanam dalam dadanya. Benih ini semakin tumbuh subur ketika ia membaca surat Toha di kediaman adik perempuannya.

Begitu juga kisah Utbah bin Rabi’ah yang diutus kaumnya untuk meminta Rosulullah menghentikan dakwahnya. Ketika dia berjumpa dengan Rosulullah dan kemudian dibacakan Surat Al Fushilat 1-5 maka tersentuhlah jiwanya, dan ketika kembali ke kaumnya dia berkata “yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang demi  Allah belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah! Ia bukan syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! Wahai kaum qurays! Patuhilah aku, serahkan urusan ini kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan……”

Adapun (pengaruh yang kuat terhadap) jin, maka sekelompok jin telah berkata: “Katakanlah (hai Muhammad :” Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya : sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an) , lalu mereka berkata : Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseoranpun dengan Rabb kami”. [al-Jin : 1-2]

Di Era modern ini kuatnya Al Quran dalam mempengaruhi jiwa manusia juga bisa kita lihat bagaimana banyaknya orang-orang kafir yang kemudian memutuskan diri menjadi mualaf setelah berinteraksi dengan Al Quran, salah satunya yaitu Cat Steven seorang penyanyi inggris yang kemudian berganti nama menjadi Yusuf Islam.

7.  Menceritakan Masa Lalu dan Akan Datang Dengan Sangat Tepat

Al Quran telah menceritakan kejadian masa lalu dan meramalkan kejadian masa datang dengan sangat tepat. Salah satunya yaitu ramalan Al Quran tentang kemenangan bangsa Romawi setelah sebelumnya mengalami keksalahan “Alif, Lam, Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). (Ar Rum 1-4)

Sekitar tujuh tahun setelah diturunkannya ayat pertama Surat Ar-Ruum tersebut, pada Desember 627 Masehi, perang penentu antara Kekaisaran Romawi dan Persia terjadi di Nineveh. Dan kali ini, pasukan Romawi secara mengejutkan mengalahkan pasukan Persia. Beberapa bulan kemudian, bangsa Persia harus membuat perjanjian dengan Romawi, yang mewajibkan mereka untuk mengembalikan wilayah yang mereka ambil dari Romawi. (Warren Treadgold, A History of the Byzantine State and Society, Stanford University Press, 1997, s. 287-299.). Akhirnya, kemenangan bangsa Romawi yang diumumkan oleh Allah dalam Al Qur’an, secara ajaib menjadi kenyataan.

Keajaiban lain yang diungkapkan dalam ayat ini adalah pengumuman tentang fakta geografis yang tak dapat ditemukan oleh seorangpun pada masa itu. Dalam ayat ketiga Surat Ar-Ruum, diberitakan bahwa Romawi telah dikalahkan di daerah paling rendah di bumi ini. Ungkapan “Adnal Ardhi” dalam bahasa Arab, diartikan sebagai “tempat yang dekat” dalam banyak terjemahan. Namun ini bukanlah makna harfiah dari kalimat tersebut, tetapi lebih berupa penafsiran atasnya. Kata “Adna” dalam bahasa Arab diambil dari kata “Dani”, yang berarti “rendah” dan “Ardhi” yang berarti “bumi”. Karena itu, ungkapan “Adnal Ardli” berarti ‘tempat paling rendah di bumi’.

Yang paling menarik, tahap-tahap penting dalam peperangan antara Kekaisaran Romawi dan Persia, ketika Romawi dikalahkan dan kehilangan Jerusalem, benar-benar terjadi di titik paling rendah di bumi. Wilayah yang dimaksudkan ini adalah cekungan Laut Mati, yang terletak di titik pertemuan wilayah yang dimiliki oleh Syria, Palestina, dan Jordania. Laut Mati, terletak 395 meter di bawah permukaan laut, adalah daerah paling rendah di bumi. Ini berarti bahwa Romawi dikalahkan di bagian paling rendah di bumi, persis seperti dikemukakan dalam ayat ini.

Ramalan lainnya yaitu kemenangan Umat Islam terhadap kafir Quraisy sebagaimana disebutkan dalam Al Quran “Golongan itu (yakni kafirin Quraisy) pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang”. (al-Qamar: 45). Saat itu sepertinya kondisinya sangat tidak mungkin karena umat Islam berada dalam keadaan yang serba kesusahan, baru saja di boikot, khodijah wafat, Abu Tholib wafat dan umat Islam dalam kondisi yang lemah. Tapi Allah benar-benar menunjukan janjinya, dimana kemudian orang-orang musyrik kalah dalam perang Badar, mereka lari dari medan peperangan. Al-Qur’an (juga) banyak memberitakan tentang perkara-perkara yang ghaib, kemudian terjadi setelah itu.

8.  Membacanya Bernilai Ibadah

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الــم ialah satu huruf, akan tetapi ا satu huruf, ل satu huruf dan م satu huruf. [HR. Bukhari]

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari]

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

“Orang yang mahir dengan al-Qur’an bersama malaikat yang mulia, sedang orang yang membaca al-Qur’an dengan tertatih-tatih dan ia bersemangat (bersungguh-sungguh maka baginya dua pahala” [HR. Bukhari-Muslim].

Wallaahu a'lam bishowab.
Readmore → Keistimewaan Al Qur'an

9 Pedang Nabi Muhammad SAW


Berikut ini adalah nama dari pedang-pedang yang pernah dipakai oleh jujungan kita Nabi Muhammad SAW

1. Al Ma’thur

Juga dikenal sebagai ‘Ma’thur Al-Fijar’ adalah pedang yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW sebelum dia menerima wahyu yang pertama di Mekah. Pedang ini diberi oleh ayahnya, dan dibawa waktu hijrah dari Mekah ke Medinah sampai akhirnya diberikan bersama-sama dengan peralatan perang lain kepada Ali bin Abi Thalib.

Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 99 cm. Pegangannya terbuat dari emas dengan bentuk berupa 2 ular dengan berlapiskan emeralds dan pirus. Dekat dengan pegangan itu terdapat Kufic ukiran tulisan Arab berbunyi: ‘Abdallah bin Abd al-Mutalib’.

al-matthur
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

2. Al Adb

Al-’Adb, nama pedang ini, berarti “memotong” atau “tajam.” Pedang ini dikirim ke para sahabat Nabi Muhammad SAW sesaat sebelum Perang Badar. Dia menggunakan pedang ini di Perang Uhud dan pengikut-pengikutnnya menggunakan pedang ini untuk menunjukkan kesetiaan kepada Nabi Muhammad SAW. Sekarang pedang ini berada di masjid Husain di Kairo Mesir.

al-adb
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

3.Dhu Al Faqar

Dhu Al Faqar adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan pada waktu perang Badr. Dan dilaporkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan pedang ini kepada Ali bin Abi Thalib, yang kemudian Ali mengembalikannya ketika Perang Uhud dengan bersimbah darah dari tangan dan bahunya, dengan membawa Dhu Al Faqar di tangannya. Banyak sumber mengatakan bahwa pedang ini milik Ali Bin Abi Thalib dan keluarga. Berbentuk blade dengan dua mata.

dhu-al-faqar
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

4.Al Battar

Al BattarAl Battar adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan dari Banu Qaynaqa. Pedang ini disebut sebagai ‘Pedangnya para nabi‘, dan di dalam pedang ini terdapat ukiran tulisan Arab yang berbunyi : ‘Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Zakaria AS, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS, Nabi Muhammad SAW’. Di dalamnya juga terdapat gambar Nabi Daud AS ketika memotong kepala dari Goliath, orang yang memiliki pedang ini pada awalnya. Di pedang ini juga terdapat tulisan yang diidentifikasi sebagai tulisan Nabataean. Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 101 cm. Dikabarkan bahwa ini adalah pedang yang akan digunakan Nabi Isa AS kelak ketika dia turun ke bumi kembali untuk mengalahkan Dajjal.

al-battar

Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

gambar ukiran nama-nama para nabi di dalamnya :

al-battar-2
al-battar-2

al-batar-3
al-batar-3

al-batar-prophets
al-batar-prophets


al-batar-figure
Gambar Nabi Daud AS memenggal kepala Goliath:

5. Hatf

Hatf adalah sebuah pedang Nabi Muhammad SAW sebagai hasil rampasan dari Banu Qaynaqa. Dikisahkan bahwa Nabi Daud AS mengambil pedang ‘Al Battar’ dari Goliath sebagai rampasan ketika dia mengalahkan Goliath tersebut pada saat umurnya 20 tahun. Allah SWT memberi kemampuan kepada Nabi Daud AS untuk ‘bekerja’ dengan besi, membuat baju baja, senjata dan alat perang, dan dia juga membuat senjatanya sendiri. Dan Hatf adalah salah satu buatannya, menyerupai Al Battar tetapi lebih besar dari itu. Dia menggunakan pedang ini yang kemudian disimpan oleh suku Levita (suku yang menyimpan senjata-senjata barang Israel) dan akhirnya sampai ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sekarang pedang ini berada di Musemum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade, dengan panjang 112 cm dan lebar 8 cm.

al-hatf
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

6. Al Mikhdham

Ada yang mengabarkan bahwa pedang ini berasal dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian diberikan kepada Ali bin Abi Thalib dan diteruskan ke anak-anaknya Ali. Tapi ada kabar lain bahwa pedang ini berasal dari Ali bin Abi Thalib sebagai hasil rampasan pada serangan yang dia pimpin di Syria. Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 97 cm, dan mempunyai ukiran tulisan Arab yang berbunyi: ‘Zayn al-Din al-Abidin’.

al-mikhdham
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

7. Al Rasub

Al RasubAda yang mengatakan bahwa pedang ini dijaga di rumah Nabi Muhammad SAW oleh keluarga dan sanak saudaranya seperti layaknya bahtera (Ark) yang disimpan oleh bangsa Israel.
Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 140 cm, mempunyai bulatan emas yang didalamnya terdapat ukiran tulisan Arab yang berbunyi: ‘Ja’far al-Sadiq’.

al-rasub
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).
8.Al Qadib

8. Al Qabid

Al QabidAl-Qadib berbentuk blade tipis sehingga bisa dikatakan mirip dengan tongkat. Ini adalah pedang untuk pertahanan ketika bepergian, tetapi tidak digunakan untuk peperangan. Ditulis di samping pedang berupa ukiran perak yang berbunyi syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasul Allah – Muhammad bin Abdallah bin Abd al-Mutalib.” Tidak ada indikasi dalam sumber sejarah bahwa pedang ini telah digunakan dalam peperangan. Pedang ini berada di rumah Nabi Muhammad SAW dan kemudian hanya digunakan oleh khalifah Fatimid.
Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Panjangnya adalah 100 cm dan memiliki sarung berupa kulit hewan yang dicelup.

al-qabid
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

9. Qal’a

Al QalaPedang ini dikenal sebagai “Qal’i” atau “Qul’ay.” Nama yang mungkin berhubungan dengan tempat di Syria atau tempat di dekat India Cina. Ulama negara lain bahwa kata “qal’i” merujuk kepada “timah” atau “timah putih” yang di tambang berbagai lokasi. Pedang ini adalah salah satu dari tiga pedang Nabi Muhammad SAW yang diperoleh sebagai rampasan dari Bani Qaynaqa. Ada juga yang melaporkan bahwa kakek Nabi Muhammad SAW menemukan pedang ini ketika dia menemukan air Zamzam di Mekah.
Sekarang pedang ini berada di Museum Topkapi, Istanbul. Berbentuk blade dengan panjang 100 cm. Didalamnya terdapat ukiran bahasa Arab berbunyi: “Ini adalah pedang mulia dari rumah Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah.” Pedang ini berbeda dari yang lain karena pedang ini mempunyai desain berbentuk gelombang.

al-qala
Foto diambil oleh Muhammad Hasan Muhammad al-Tihami, Suyuf al-Rasul wa ‘uddah harbi-hi (Cairo: Hijr, 1312/1992).

sumber : http://www.usna.edu/Users/humss/bwhe…of_swords.html, http://www.kaskus.com.
Readmore → 9 Pedang Nabi Muhammad SAW

Doa Hari Asyura


 اَللّٰهُمَّ يَا مُفَرِّجَ كُلِّ كَرْبٍ، وَ يَا مُخْرِجَ ذِى النُّوْنِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَ يَا جَامِعَ شَمْلِ يَعْقُوْبَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَ يَا غَافِرَ ذَنْبِ دَاوُدَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَ يَا كَشِفَ ضُرِّ اَيُّوْبَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَ يَا سَامِعَ دَعْوَةِ مُوْسٰى وَ هَارُونَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَ يَا خَالِقَ رُوْحِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ.
ىَا رَحْمٰنَ الدُّنْيَا وَ الْاٰخِرَةِ وَ اَطْلِ عُمْرَنَا فِيْ طَاعَتِكَ وَ مَحَبَّتِكَ وَ رِضَاكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَ اَحْيِيْنَا حَيَاةً طَيِّبَةً وَ تَوَفِّقْنَا عَلَى الْاِسْلَامِ وَ الْاِيْمَانِ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
وَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى آٰلِهٖ وَ صَحْبِهٖ وَ سَلَّمَ وَ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن.

Ya Allah, wahai Yang memberikan jalan keluar dari segala kesusahan, Wahai Yang mengeluarkan Dzun Nun pada hari Asyura, wahai yang menghimpun semua keturunan nabi Ya'qub pada hari Asyura, wahai Yang mengampuni dosa nabi Dawud pada hari Asyura, wahai Yang melenyapkan penyakit nabi Ayyub pada hari Asyura, wahai yang mendengar seruan nabi Musa dan nabi Harun pada hari Asyura, wahai Yang menciptakan ruh nabi Muhammad pada hari Asyura.

Wahai yang maha pemurah di dunia dan akherat, panjangkanlah usiaku dalam taat kepada-Mu, mencintai-Mu dan mendapat ridha-Mu, wahai yang maha penyayang diantara yang penyayang, hidupkanlah kami dalam kehidupan yang baik dan wafatkanlah kami dalam keadaan Islam dan beriman wahai yang maha penyayang diantara yang penyayang.

Dan semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam kepada junjungan kami nabi Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Catatan :

Hendaknya doa ini dibaca sebanyak-banyaknya di bulan Muharram ini, terutamanya di hari asyura, tanggal 10 Muharram. Karena banyaknya peristiwa penting yang menandakan turunnya rahmat Allah kepada manusia-manusia pilihan-Nya. (Diterangkan dalam catatan tentang bulan Asyura)
Readmore → Doa Hari Asyura

Keutamaan Puasa Tasu'a dan Puasa Asyura

Puasa Tanggal 9 (Tasu’ah) dan 10 Muharram (Asyura)
Dari Abu Qotadah Al Anshoriy, berkata,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punya keinginan berpuasa pada hari kesembilan (tasu’ah) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)– kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Hukum Puasa Tanggal 10 (Asyura) Sehari Saja
Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa makruh hukumnya jika berpuasa pada tanggal 10 saja dan tidak diikutsertakan dengan tanggal 9 Muharram atau tidak diikutkan dengan puasa tanggal 11-nya. Sedangakan ulama Hambali tidak menganggap makruh jika berpuasa tanggal 10 saja. Sebagaimana pendapat ini menjadi pendapat dalam madzhab Imam Malik. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 90.
Disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.
Apa hikmah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menambah puasa pada hari kesembilan? An Nawawi rahimahullah melanjutkan penjelasannya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10 Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 15.
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat sunnahnya berpuasa pada tanggal 11 bagi yang tidak sempat berpuasa tanggal sembilannya. Bahkan disebutkan oleh Asy Syarbini Al Khotib, Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Imla’ mengatakan bahwa disunnahkan berpuasa tiga hari sekaligus, yaitu 9, 10 dan 11 Muharram.
Kesimpulannya, tidaklah makruh melaksanakan puasa Asyura saja yaitu tanggal 10 tanpa diiringi tanggal 9. Namun lebih baiknya dua hari tersebut digabungkan untuk menyelisihi orang Yahudi. Jika tidak sempat tanggal 9 dan 10, maka bisa memilih tanggal 10 dan 11 untuk berpuasa. Karena tujuannya sama, agar puasa Asyura tersebut tidak menyerupai puasa orang Yahudi. namun bila mampu dan sempatnya hanya tanggal 10 saja, tidak mengapa.
Niat puasa hari ke 9 
نَوَيْتُ صَوْمَ عَشُرَ سُنَّةَ لِلّٰهِ تَعَالٰى
Aku berniat mengerjakan puasa hari tasu'a sunnah karena Allah ta'ala.
Niat puasa hari ke 10
نَوَيْتُ صَوْمَ عَشُرَ سُنَّةَ لِلّٰهِ تَعَالٰى
Aku berniat mengerjakan puasa hari asyura sunnah karena Allah ta'ala

Kejadian-kejadian besar ketika 10 Muharram
  1. Hari pertama Allah menciptakan alam.
  2. Hari Pertama Allah menurunkan rahmat.
  3. Hari pertama Allah menurunkan hujan.
  4. Allah menjadikan ‘Arasy.
  5. Allah menjadikan Lauh Mahfuz.
  6. Allah menjadikan alam.
  7. Allah menjadikan Malaikat Jibril.
  8. Nabi Adam a.s. dicipta.
  9. Diampunkan dosa Nabi Adam a.s. setelah bertahun-tahun memohon keampunan karena melanggar larangan Allah.
  10. Nabi Idris a.s. diangkat darjatnya oleh Allah dan Malaikat Izrail membawanya ke langit.
  11. Diselamatkannya Nabi Nuh a.s. dan pengikutnya dari banjir besar selama enam bulan dan bahtera baginda selamat berlabuh di puncak pergunungan.
  12. Nabi Ibrahim a.s. dilahirkan di kawasan pedalaman dan terselamat dari buruan Raja Namrud.
  13. Nabi Ibrahim a.s. diselamatkan Allah dari api Raja Namrud.
  14. Nabi Yusuf a.s. dibebaskan dari penjara setelah meringkuk di dalamnya selama tujuh tahun.
  15. Nabi Yaakub a.s. telah sembuh buta matanya ketika kepulangan anaknya Yusuf di hari tersebut.
  16. Nabi Ayub a.s. disembuhkan dari penyakitnya.
  17. Nabi Musa a.s. telah diselamatkan dari  tentara Firaun dan berlakunya kejadian terbelahnya Laut Merah.
  18. Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
  19. Nabi Yunus a.s. selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
  20. Kesalahan Nabi Daud a.s. diampuni Allah.
  21. Nabi Sulaiman a.s. dikurniakan Allah kerajaan yang besar.
  22. Nabi Isa a.s. diangkat ke syurga ketika diburu oleh tentera Roma untuk menyalib beliau.
Wallahu a’lam.
Readmore → Keutamaan Puasa Tasu'a dan Puasa Asyura
Back to top