Hakekat Allah

Suatu hari yang cerah datanglah seorang santri yang ingin bertanya sesuatu hal kepada kiyainya. Ada beberapa hal yang dirasanya sagat mengganggu benaknya selama ini. Sebenarnya dia sudah beberapa kali datang kepada beberapa teman santrinya dan kepada beberapa ustadz. Namun baginya jawaban mereka belumlah memuaskan dahaga batinnya.

Maka datanglah dia sowan kepada kiyai yang sangat dihormatinya untuk menanyakan hal tersebut dengan harapan rasa penasaran yang selama ini menggelayuti hatinya bisa terobati.

“Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wa barokaatuh,” ucapnya sembari menghampiri pak kyai yang sedang duduk di karpet yang terhampar di ruang tamu beliau yang cukup luas.

“Wa ‘alaikumussalaamu warahmatullaahi wa barokaatuh,” jawab pak kyai ramah sambil mengulurkan kedua tangannya menyalami kedatangan santri tersebut.

Maka santri tersebut menyalami tangan beliau yang mulia sambil menciumnya sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat ketika mencium tangan Nabi Muhammad SAW.

Setelah berbasa basi sebentar, maka santri tersebut mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu hendak bertanya beberapa hal krusial yang selama ini mengganggu ketenangan batinnya.

“Maaf pak kyai, kalau diperkenankan saya hendak bertanya tentang beberapa hal yang selama ini mengganggu di hati saya. Sebenarnya saya sudah bertanya kepada beberapa orang, namun jawabannya masih belum memuaskan saya. Kiranya pak kyai berkenan untuk memberi pencerahan kepada saya.” Ungkap santri tersebut.

Sambil tersenyum pak kyai menjawab, “Silakan mas, semoga Allah memberi kemampuan pada saya untuk bisa menjawab hal yang meresahkan panjenengan tersebut.”

“Begini pak kyai, ada tiga hal yang saya rasa sangat mengganggu batin saya. Pertama, kita tahu dan yakin Allah itu ada, namun dengan keterbatasan akal yang ada pada saya, saya ingin benar-benar yakin bahwa Allah itu ada. Menurut saya yang namanya ada tentu harus bisa kita buktikan dengan panca indera kita.”

“Kemudian yang kedua soal apa mas?” tanya pak kyai sambil senyum.

“Yang kedua adalah bahwa menurut Al Qur’an, setan itu nantinya akan dibakar di api neraka karena pembangkangannya terhadap Allah. Sedangkan di kitab suci tersebut dijelaskan bahwa setan itu terbuat dari api. Pertanyaannya, apakah mungkin bahwa setan itu akan merasa sakit kalau dibakar api? Api kan ada dalam unsur dirinya. Logikanya, kalau api dilawankan air, maka api akan bereaksi dalam hal ini padam, namun kalau api di temukan api, tentunya tak akan terjadi apa-apa. Bagaimana pendapat pak kyai?”

“Oke, pertanyaan pertama dan kedua saya simpan dulu jawabannya. Masalah yang ketiga tentang apa mas?” tanya pak kyai ramah sambil mempersilaka tamunya mencicipi hidangan yang tersedia di depannya.

“Yang ke tiga pak kyai, adalah tentang takdir yang berlaku pada kita. Saya berpandangan bahwa apa yang terjadi pada kita semuanya sudah bisa kita prediksi dan perhitungkan. Jadi sama sekali tidak ada yang namanya diluar kendali, diluar dugaan dan sebagainya. Sebagai contoh kalau kita besarnya pintar, tentunya sedari kecil sudah belajar dengan baik. Kalau sekarang kita menjadi orang kaya, tentunya tadinya rajin bekerja dan menabung. Intinya segala sesuatu sebenarnya dalam kendali kita, tidak ada hubungannya dengan orang atau hal lain. Bagaimana menurut pak kyai?” jawab si santri sambil mengambil kue kecil yang disediakan oleh santri pak kyai.

Pak kyai senyum sambil beringsut mendekat santri tersebut, “Jadi itukah tiga hal yang mengganggu hatimu mas?”

“Benar pak kyai. Mohon pencerahannya.” Jawab santri tersebut.

Tanpa diduga dan dinyana tiba-tiba pak kyai menampar santri pipi  tersebut sekerasnya dengan tangan kanannya.

Tentu saja santri tersebut kaget setengah mati karena tidak menduga hal tersebut akan terjadi padanya. Sebab setahunya pak kyai adalah orang yang sangat lembut dan sopan santun. Maka seraya mundur dia berkata ketakutan, “Maafkan saya pak kyai. Maaf kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan pak kyai sehingga pak kyai benar-benar marah dan menampar saya.”

Pak kyai hanya tertawa saja seraya berkata, “Saya sama sekali tidak marah mas. Justru tamparan saya itu adalah jawaban saya terhadap semua pertanyaan tadi.”

“Bagaimana mungkin pak kyai? Masak pertanyaan saya dijawab dengan satu tamparan seperti itu?” jawab santri tersebut keheranan.

“Pertanyaan pertama, bukankah ananda menanyakan keberadaan Allah? Apa yang ananda rasakan ketika saya tampar tadi?”

“Tentu saja yang saya rasakan adalah rasa sakit pak kyai.”

“Tunjukkan saya bagaimana rupa sakit yang sampaikan bilang itu.”

“Bagaimana cara saya menunjukkannya pak kyai? Saya hanya bisa merasakan dan tahu bahwa saya merasakan sakit, tapi kalau rasa sakit itu ya tentu saja tidak bisa saya tunjukkan ‘benda’nya.”

“Begitu pula Allah mas. Cukup kita tahu bahwa Allah itu ada, terbukti dari adanya dunia seisinya ini serta firmannya yang ada dalam Al Qur’an. Tapi kalau saya disuruh menunjukkan wujud nya Allah tentu saya tidak bisa. Tapi saya bisa menunjukkan bukti bahwa Allah benar-benar ada. Seperti ketika sampean saya tampar tadi, sampean bisa menunjukkan bahwa rasa skit itu ada, dibuktikan pipi sampean memerah. Naun bentuk benda yang namanya ’sakit’ itu tentu sebatas definitif. Maka indera perasa sampean mengatakan sakit dan itu sampean yakini, sampean rasakan namun tetap tidak bisa ditunjukkan bendanya secara riel.”

“Benar pak kyai. Terus kalau pertanyaan saya yang kedua tentang setan yang disiksa dengan api?”

“Saya manusia, sampean juga manusia. Saya tercipta dari tanah, sampean juga dari tanah. Kita sama-sama dari tanah. Namun ketika saya sampar sampean yang nota bene kita sama-sama dari tanah, sampean bisa merasakan sakitnya kan? Begitu juga ketika setan disiksa di neraka. Setan dari api dibakar oleh api, apakah bisa merasakan sakit? Kalau Allah menghendaki tentu bisa. Bahkan menurut sejarah, Nabi Ibrohim tidak merasakan panas ketika dibakar Raja Namrudz karena Allah menyuruh api untuk dingin ketika mendekati Nabi Ibrohim.”

“Benar pak kyai. Sekarang mengenai takdir bagaimana pak kyai?”

“Sekarang jawab pertanyaan saya, apakah tadi malam sampean sudah merancang untuk menemui saya menanyakan ketiga hal tadi?”

“Ya pak kyai, makanya saya pagi-pagi sudah menyegerakan sowan panjenengan, takut nanti kalau banyak tamu saya tidak bisa mengobrol dengan leluasa.”

“Apakah sampean punya perkiraan bahwa saya akan menjawab pertanyaan sampean?”

“Ya pak kyai. Sebab saya tahu pak kyai adalah orang yang sangat luas ilmunya. Maka saya sangat berharap pak kyai menjawab pertanyaan saya, meski ada juga kemungkinan pak kyai tidak mau menjawab pertanyaan saya”

“Apakah sampean pernah berfikir bahwa saya akan menampar pipi sampean ketika sampean mengajukan pertanyaan tadi?”

“Tentu saya sama sekali tidak mengira. Sebab setahu saya pak kyai orangnya selalu lembut kepada siapapun.”

“Itulah mas. Ada hal-hal yang seolah-olah kita sudah tahu kemungkinannya sehingga kita bisa bersiap terhadap segala kemungkinan. Namun ada juga sesuatu yan tetap menjadi rahasia Allah dan itulah yang menjadi tanda bahwa kita yang berusaha, namun takdirnya tetap di jalan Allah. Namun seperti kejadian saya tampar tadi, itu sama sekali bukan karena kebencian, namun karena saya hendak menjawab pertanyaan sampean. Allah juga begitu. Ketika kita menghadapi sesuatu yang kita merasa tidak suka, baik berupa susah, fakir, gagal dan sebagainya, yakinlah bahwa Allah hendak memberikan kebaikan pada sampean. Allah maha baik mas.”

“Alhamdu lillah pak kyai, saya sudah paham sekarang. Terima kasih banyak pak kyai atas penjelasannya. Saya mau pamit sekarang.”

“Ya mas, semoga Allah senantiasa memberkahi kita semua. Amien yra.”

“Nggih pak kyai. Assalaamu’alaikum war wab."seraya mencium tangan pak kyai dengan penuh rasa ta'dhim.

“Wa alaikumussalam war wab.”

*Dialog imajinatif. Dan saya tertawa sendiri ketika menulis ini, sebab benar-benar saya pernah saya menampar seorang teman yang bertanya tentang hakekat Allah.

No comments:

Post a Comment

Blog ini bukan untuk debat, saling menjatuhkan, saling mengejek dan berkomentar yang kurang baik. Ini adalah sebagai tambahan pengetahuan dan ajang untuk saling mengerti. Allah yubarik fik

Back to top